Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin menyatakan pihaknya memantau pelaksanaan mekanisme restorative justice (RJ) penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis gender di 23 kabupaten/kota di sembilan provinsi di Indonesia.

“Sejak 2022 Komnas Perempuan menginisiasi pemantauan pelaksanaan mekanisme keadilan restoratif dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan,” katanya dalam Peluncuran Laporan Nasional Hasil Pemantauan Pelaksanaan Mekanisme Keadilan Restoratif di Jakarta, Selasa.

Mariana menuturkan upaya ini termasuk salah satu program prioritas nasional di bawah koordinasi langsung Kantor Staf Presiden dan Bappenas yang bekerja sama dengan organisasi layanan pendamping korban kekerasan di sembilan provinsi.

Baca juga: Komnas Perempuan: Penanganan perempuan korban kekerasan belum ideal

Dengan mendokumentasikan praktik-praktik keadilan restoratif di 23 kabupaten/kota, pemantauan tersebut melibatkan 18 orang pengambil data lapangan atau pemantau dan tiga orang pendamping yang masing-masing mengkoordinasi tiga provinsi.

Tiga wilayah yang menjadi lokasi pemantauan terbagi menjadi tiga wilayah, yaitu wilayah barat, yakni Aceh, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, wilayah tengah, yakni Sulawesi Tengah, Bali, NTT dan wilayah timur, yaitu Papua, Maluku, dan Sulawesi Barat.

Proses pengambilan data berlangsung pada Agustus hingga Oktober 2022, kemudian dilanjutkan dengan perumusan data serta kerangka analisis serta penulisan yang berlangsung hingga September 2023.

Ia menjelaskan proses ini cukup panjang dan melelahkan, terutama bagi pemantau dan pendamping yang berproses bersama Komnas Perempuan selama satu tahun lima bulan untuk melakukan berbagai kegiatan.

Kegiatan itu mulai dari penyusunan instrumen pemantauan hingga perumusan laporan, dan harus selalu siap dihubungi untuk konfirmasi dan verifikasi data lapangan yang berjumlah sekitar 449 narasumber dari sembilan provinsi.

Dari hasil pemantauan ditemukan sebanyak 48 korban dari 84 narasumber di tiga wilayah menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap pelaksanaan mekanisme keadilan restoratif dengan jumlah narasumber di wilayah timur dan barat lebih banyak yang tidak puas dibandingkan puas.

Selanjutnya, sebanyak 45 korban dari 68 orang mengatakan belum pulih dari kekerasan dengan mayoritas narasumber yang memiliki tingkat ketidakpulihan tertinggi berada di wilayah timur, yaitu 18 orang, barat 15 orang dan tengah 12 orang.

Sementara 21 orang lainnya mengaku pulih dengan hasil atas kesepakatan yang dicapai dan jumlah mereka yang merasa pulih relatif merata di tiga wilayah.

Kemudian, tingkat ketidakpuasan penanganan keadilan restoratif di kepolisian juga tinggi, yakni sebanyak 27 narasumber atau mencapai dua kali lipat dari yang merasa puas pada proses yang ditempuh.

Baca juga: Komnas Perempuan: Korban kekerasan kian percaya diri laporkan kasusnya

Baca juga: Komnas Perempuan apresiasi komitmen Kemenag cegah kekerasan seksual

Berdasarkan pemantauan diketahui ketika polisi tidak mempunyai konsep pemulihan yang tepat atau pemulihan hanya diartikan sebagai perdamaian ganti rugi dalam bentuk denda, korban tidak akan sampai pada pemulihan yang sebetulnya.

Jumlah korban yang merasa belum pulih dalam penanganan restorative justice juga terjadi di lembaga layanan pemerintah, yakni rata-rata mencapai dua kali lipat dari korban yang merasa pulih.

Narasumber yang mengaku belum pulih di layanan pemerintah meliputi empat orang di lembaga adat, tiga orang di pemerintah desa dan dua orang di pengadilan.

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023