Jakarta (ANTARA) - Di era digital seperti saat ini, ada kecenderungan masyarakat untuk melakukan segala sesuatu secara daring mulai dari membeli makanan hingga berbelanja pakaian.
Fenomena jual beli secara daring menggunakan platform digital pun semakin ramai peminat. Tak hanya di e-commerce, kini media sosial juga menjadi wadah untuk masyarakat melakukan jual beli secara daring.
Pergeseran kebiasaan berbelanja ini dimulai sejak Pandemi COVID-19 melanda dua tahun lalu. Kala itu, pembatasan dan imbauan untuk tidak keluar rumah menjadikan masyarakat melakukan kegiatannya secara daring. Hal inilah yang membuat tren belanja secara daring meningkat.
Untuk bertahan di tengah pandemi, para pedagang berinisiatif memulai berdagang secara daring. Bahkan tak sedikit yang melihat penjualan secara daring lebih menguntungkan dan melanjutkannya hingga saat ini.
Para pedagang biasanya menjajakan barang dagangannya dengan membuat katalog digital, melalui website hingga melakukan siaran langsung atau live di media sosial maupun melalui e-commerce.
Selain lebih mudah dan cepat, belanja secara daring memungkinkan pembeli untuk mendapatkan potongan harga hingga gratis ongkos kirim. Sementara dari sisi pedagang, jual beli secara daring juga memungkinkan mereka untuk menjangkau lebih banyak pembeli dari berbagai daerah.
Hal-hal inilah yang semakin menambah daya tarik masyarakat untuk melakukan jual beli secara daring.
Menurut data dari Bank Indonesia (BI), nilai transaksi perdagangan elektronik atau e-commerce di Indonesia sebesar Rp476,3 triliun pada 2022. Sedangkan, volume transaksi e-commerce tercatat sebanyak 3,49 miliar kali.
Nilai transaksi e-commerce pada 2022 tersebut lebih tinggi 18,8 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp401 triliun.
Namun sayangnya tak semua pedagang bisa berjualan secara daring dan menikmati banyaknya penonton live hingga meraup banyak keuntungan.
Menurut hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) bertajuk “Statistik eCommerce”, hanya ada 34,10 persen pelaku usaha Indonesia yang berjualan di e-commerce per 15 September 2022. Sedangkan sisanya sebanyak 65,90 persen pelaku usaha masih berjualan secara luring atau konvensional.
Meskipun demikian, persentase pelaku usaha Indonesia di e-commerce tersebut meningkat dibandingkan tahun 2021. Pada 31 Desember 2021, pelaku usaha yang menggunakan e-commerce tercatat 25,25 persen sementara pada 31 Desember 2022, pelaku usaha di e-commerce tercatat 32,23 persen.
Hal ini menunjukkan usaha yang menerima pesanan atau melakukan penjualan melalui daring di Indonesia masih tergolong rendah dan masih didominasi dengan jenis usaha konvensional.
Oleh sebab itu, masih banyak pedagang yang terkena dampak pergeseran kebiasaan berbelanja dari luring ke daring. Fenomena tersebut membuat para pedagang di pusat perbelanjaan mengeluhkan barang dagangannya tak laku karena sepi pengunjung.
Salah satunya adalah para pedagang di Pasar Tanah Abang. Beberapa waktu lalu bahkan sempat viral para pedagang hingga kuli angkut atau porter mengeluh karena minimnya penghasilan.
“Parah banget sekarang. Dulu biasanya masuk dua, tiga orang belanja. Sekarang yang belanja cuma satu orang, yang ngantar segerombolan,” ungkap salah satu pedagang pakaian di Tanah Abang bernama Maya.
Hal serupa juga dirasakan oleh Humaira yang sehari-harinya berdagang pakaian di Tanah Abang. Dia mengatakan kini sudah hampir dua bulan tokonya tak lagi ramai pembeli.
“Memang lagi sepi banget. Sekitar hampir dua bulan ini merasanya begitu. Biasanya habis lebaran Idul Adha memang suka sepi. Tapi ini kacau sepinya. Nggak larisnya bisa berhari-hari. Paling ramai kalau ada orang mau seragaman nikahan,” keluh Humaira.
Kendati demikian, Humaira pun tak berdiam diri dengan keadaan. Dia tetap mengupayakan menjajakan barang dagangannya melalui online. Meskipun tak mudah dan tak jarang sepi penonton, namun Humaira tetap giat melakukan live shopping melalui e-commerce.
Opsi pedagang Tanah Abang
Melihat pergeseran pola konsumsi masyarakat yang semakin berpindah ke arah digital, Direktur Jendral Perdagangan Dalam Negri Isy Karim mengatakan para pedagang memang perlu berinovasi untuk bertahan.
Para pedagang bisa melakukan inovasi dengan membuat toko online di berbagai platform digital untuk membuka akses pasar yang lebih luas. Pedagang dapat memanfaatkan live shopping melalui platform online.
Pedagang juga bisa membuat grup reseller bagi pelanggan aktif melalui aplikasi chat sehingga pemesanan dapat dilakukan secara online tanpa harus mengunjungi toko. Menyebarkan katalog yang menarik dalam grup juga bisa menjadi pilihan untuk meningkatkan penjualan.
Untuk meningkatkan penjualan secara luring, Isy menyarankan agar pengelola Pasar Tanah Abang bisa berinovasi seperti mengadakan kegiatan-kegiatan offline untuk menarik pengunjung.
Dari sisi pihak pengelola Pasar Tanah Abang Blok A , Hery Supriyatna, mengatakan hampir 20 persen dari 4.500 pedagang di kiosnya saat ini sudah mulai berjualan secara daring.
Oleh karena itu, dalam waktu dekat dia akan menggandeng pihak platform media sosial untuk memfasilitasi aktivitas dagang secara daring. Hal ini diharapkan dapat membantu para pedagang di Pasar Tanah Abang.
Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, juga turut menanggapi viralnya para pedagang di Pasar Tanah Abang yang mengeluh sepi pengunjung.
Dirinya tidak menepis adanya penurunan jumlah pembeli secara langsung ke Pasar Tanah Abang. Hal tersebut lantaran banyak masyarakat yang memanfaatkan pembelian secara online.
Jika para peritel ingin bisa bertahan berdagang secara offline, mereka bisa berinovasi dengan memperkuat brand. Selain itu, mempertahankan kualitas barang juga sangat penting untuk mempertahankan loyalitas penjual.
Harga juga perlu mampu bersaing dengan para pedagang online. Sebab, kini tak sedikit masyarakat yang memilih berbelanja online karena harga yang lebih murah, ditambah banyak promo di platform-platform tersebut.
Jadi, digital marketing menjadi metode baru yang sangat berperan penting dalam memasarkan suatu produk bisnis. Kecanggihan teknologi telah menjadi solusi yang membantu produsen dan konsumen untuk saling berinteraksi. Beberapa hal yang mendorong sejumlah pedagang untuk melakukan digitalisasi di antaranya adalah kemudahan untuk menjangkau banyak target pasar, hemat biaya dan pendapatan relatif lebih baik.
Untuk itu, pemerintah terus berusaha melakukan transformasi dan penguatan ekosistem digital di tanah air. Akselerasi digitalisasi dari kota hingga desa merupakan kunci upaya percepatan peningkatan daya saing ekonomi nasional, termasuk dalam meningkatkan produktivitas dan kinerja usaha menengah kecil dan mikro (UMKM).
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023