Pemerintah yang baik dan bersih lahir dari pemilihan yang baik dan bersih.
Jakarta (ANTARA) - Para pemilih pemula dan anak muda DKI Jakarta mempunyai kesempatan besar mewujudkan Pemilu 2024 lebih bersih dan bebas dari politik uang. Dengan porsi pemilih yang dominan, anak muda menjadi kelompok penting demi menyudahi praktik transaksional nir-etis yang menyuburkan korupsi itu.
Merujuk data KPU DKI Jakarta, Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 sebanyak 8.252,897 orang, dengan persentase Generasi Z (17-24 tahun) 18,5 persen, Generasi Milenial (25-39 tahun) 32,9 persen, Generasi X (40-55 tahun) 31,5 persen, Baby Boomers (56-75 tahun) 15,5 persen, serta Pre-Boomers (>75 tahun) 1,5 persen.
Berdasarkan komposisi di atas, pemilih muda memiliki porsi terbesar dalam Pemilu 2024 di DKI Jakarta, yakni lebih dari 50 persen.
Peneliti Pusat Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati memberi penjelasan, secara definisi pemilih muda yakni seseorang yang memiliki hak pilih dan terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU), serta dengan rentan usia produktif sekitar 20 hingga 40 tahun.
Adapun secara budaya, pemilih muda dianggap lebih condong dalam hal rasionalitas sehingga memiliki pandangan yang lebih kritis terhadap isu politik.
Pemilih muda memiliki idealisme yang tinggi dibandingkan generasi sebelumnya karena relatif tidak ada keterikatan secara emosional ataupun ideologi (apolitis) sehingga mereka bisa lebih independen ketika mengevaluasi kandidat yang akan dipilih pada kontestasi politik 2024.
Salah satu isu yang menjadi fokus para pemilih muda dalam pesta demokrasi yakni korupsi. Seperti halnya Melinda (20) yang menyampaikan bahwa penyebab Indonesia sulit menjadi negara maju karena masih maraknya praktik korupsi, kolusi, serta nepotisme.
Ia menilai pemilu merupakan sebuah lokomotif, dan pemimpin terpilih menjadi masinis yang akan membawa nasib Indonesia selama 5 tahun ke depan.
"Harapannya yang terpilih itu pemimpin yang progresif dan tegas untuk melanjutkan estafet kepemimpinan," ujarnya.
Memiliki idealisme tinggi, Melinda yang memegang KTP Jakarta Pusat ini sangat selektif dalam memilih calon pemimpin. Mulai dari rekam jejak, visi misi yang disodorkan, serta janji politik. Semua variabel ini harus sesuai dengan kapabilitas sang calon. Tak hanya itu, program yang dijanjikan juga mesti dikawal saat pemimpin tersebut terpilih.
Dirinya pun enggan menerima 'gula' atau biasa disebut politik uang dari para calon saat melakukan kampanye. Menurut Melinda, hal itu hanya akan selalu menjerumuskan pelaku pada hal yang transaksional sehingga kebijakan yang diambil saat memimpin nanti tidak berorientasikan kepentingan rakyat.
Cara paling ampuh untuk menghapus budaya politik uang, menurut dia, dengan meningkatkan literasi dan edukasi politik, agar lama-kelamaan kebiasaan buruk tersebut hilang dan prinsip antikorupsi menjadi sebuah budaya dengan sendirinya.
Senada dengan Melinda yang menolak ada transaksi dalam pemilu, Muhammad Irfan (21) menuturkan harapannya, agar pemimpin yang terpilih, kelak menjalankan amanah kekuasaannya dengan sepenuh hati serta jujur dalam setiap mengambil keputusan.
Ia--yang pada 2024 baru kali pertama gunakan hak pilihnya dalam pemilu--berargumen bahwa pemimpin yang amanah secara langsung akan membawa perbaikan ke dalam sistem sehingga hal itu bisa memberikan rasa malu terhadap politikus yang berniat korupsi.
Mempertegas pernyataan dari dua anak muda Jakarta, Komisoner KPU Idham Holik memberikan pernyataan terkait pentingnya pemilu yang bersih. Disampaikannya bahwa good and clean government lahir dari good and clean election. Pemerintah yang baik dan bersih lahir dari pemilihan yang baik dan bersih.
Kekhawatiran para pemilih muda tersebut menjadikan pentingnya pendidikan politik sehingga diperhatikan oleh KPU melalui program KPU Goes to School dan KPU Goes to Campus.
Akegiatan ini memiliki tujuan memperkuat idealisme pemilih muda supaya tak mudah terpengaruh "janji manis" para peserta Pemilu 2024.
Penjelasan turut diberikan oleh Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat KPU Provinsi DKI Jakarta Astri Megatari, bahwa selama tahun 2023 pihaknya sudah menggelar sosialisasi KPU Goes to School di 50 lebih sekolah menengah atas (SMA) di DKI, serta merencanakan menggelar sosialisasi serupa di dua kampus pada November 2023.
Dalam sosialisasi yang dibuat oleh KPU DKI ini, dirinya selalu mengingatkan untuk tidak terjebak pada konteks vote buying atau sering disebut serangan fajar. Hal itu menurutnya mencederai kedaulatan pemilu serta proses demokrasi yang berlangsung.
Politik cerdas berintegritas
Selain KPU, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengadakan program Politik Cerdas Berintegritas (PCB) yang diinisiasi pada tahun 2021. Program ini menyasar tiga elemen, yakni penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU, dan Bawaslu dari level pusat hingga daerah, lalu partai politik sebagai peserta pemilu, serta para pemilih.
Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana bercerita bahwa hasil riset yang dilakukan oleh pihaknya pada tahun 2018, mengungkap bahwa kandidat yang memiliki kekuatan finansial tinggi, 95 persen lebih memiliki keunggulan di mata masyarakat.
Selain itu, sebanyak 75 persen masyarakat pada pemilu sebelumnya masih menerima politik uang, dan bila dikategorikan sebanyak 82 persen di antaranya adalah perempuan dengan rentang usia 36-50 tahun (pemilih muda). Wawan menilai hal ini yang menjadi pemicu perilaku korupsi dari kandidat ketika menjabat nanti.
"Karena biaya kampanye besar jadi pada korupsi," ujar Wawan.
Oleh karena itu pada 14 Juli lalu dalam program PCB, pihaknya mengampanyekan antipolitik uang dengan mengusung tema "Hajar Serangan Fajar" dengan sasaran utama kaum perempuan (36-50 tahun) serta Generasi Z (17-26 tahun).
Pendekatan yang dilakukan kepada ibu-ibu yakni melalui senam bersama, penyisipan slogan atau contoh perilaku antipolitik uang dalam lagu, film, serta sinetron, sedangkan pendekatan kepada Generasi Z melalui media sosial.
Segala ikhtiar yang ditempuh melalui program dan kampanye tersebut agar masyarakat lebih cerdas memilih pemimpin sehingga tidak ada lagi politik transaksional yang menyulut praktik korupsi tak berkesudahan.
Saatnya para pemilih pemula dan anak muda menutup rapat-rapat masuknya calon pemimpin yang menerapkan politik uang.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023