Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis kulit di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Dr dr Sri Linuwih SW Menaldi, SpKK(K), FINSDV, FAADV mengatakan kusta yang tak tertangani sedari dini bisa menyebabkan kecacatan semisal kerusakan kulit dan jari-jari yang memendek.
Menurut dia bakteri penyebab kusta yakni Mycobacterium leprae menyerang saraf lalu ke kulit hingga organ-organ lain jika sudah lanjut dan kerusakan pada kulit diawali peradangan.
"Kerusakan pada kulit diawali peradangan pada kulit, atau nyeri saraf, menyebabkan gangguan seperti baal atau mati rasa, atau kelumpuhan yakni otot-ototnya mengecil, atau sampai terjadi kekakuan bahkan terjadi jari-jarinya memendek," ujar Sri kepada ANTARA saat ditemui di Jakarta, Kamis.
Tetapi, apabila kusta bisa terdeteksi dini maka kecacatan ini tidak terjadi atau dengan kata lain penyakitnya dapat terobati. Dalam pengobatan kusta, pasien bisa mendapatkan kombinasi dua atau tiga macam obat, yang salah satunya antibiotik.
Baca juga: Kemenkes: Kerja sama kementerian/lembaga penting temukan kusta anak
Baca juga: Kemenkes sebut pentingnya deteksi dini tangani penyakit kusta
Durasi pengobatannya pun antara lain ada yang enam bulan (dua kombinasi obat) yang harus diselesaikan dalam sembilan bulan atau 12 bulan (kombinasi tiga macam obat) yang diselesaikan dalam 18 bulan. Ini mengingat ada kemungkinan pasien putus obat sesaat.
"Kan dia bisa ada lupa, sehari atau dua hari. Nanti ditotal, dia sudah menyelesaikan enam dosis dalam sembilan bulan. Jika iya, maka dia sudah boleh dinyatakan pengobatan cukup," jelas Sri.
Hanya saja, Sri berpendapat, kebanyakan pasien kusta terlambat berobat karena tidak mengalami gejala sakit apapun namun tiba-tiba jari-jarinya sudah kaku.
Di sini, sambung dia, tenaga medis semisal di puskesmas berperan penting sebagai garda terdepan upaya kesehatan masyarakat, salah satunya dalam mencegah pasien agar jangan terlambat berobat sehingga berujung mengalami kecacatan.
Penemuan dini kasus sebenarnya menjadi bagian dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Eliminasi Kusta Tahun 2023 – 2027 yang digagas Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular - Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit bekerjasama dengan Pusat Kedokteran Tropis FK-KMK Universitas Gajah Mada Yogyakarta, World Health Organization (WHO) dan Yayasan NLR Indonesia dalam rangka mencapai Eliminasi Kusta di Indonesia tahun 2030, sebagaimana tertuang dalam WHO Global Leprosy (Hansen’s Disease) Strategy 2021 – 2030.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi dalam acara "Semiloka Rencana Aksi Nasional Eliminasi Kusta di Jakarta, Kamis mengatakan ada empat strategi dalam RAN yakni pertama, menggerakkan masyarakat dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang tersedia di masyarakat.
Kedua, meningkatkan kapasitas sistem pelayanan dalam melakukan pencegahan, penemuan dini, diagnosis dan penatatalaksanaan kusta secara komprehensif dan berkualitas.
Ketiga, meningkatkan integrasi dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan dan fasilitas kesehatan, baik Pemerintah maupun swasta, serta keempat yakni menguatkan komitmen, kebijakan dan manajemen program dalam penanganan kusta.
Imran menargetkan kasus baru kusta di Indonesia nantinya bisa turun sebanyak 70 persen, lalu kasus baru anak turun 90 persen dan kasus baru dengan disabilitas tingkat dua (terlihat atau disebut disabilitas fisik) dapat turun sebanyak 90 persen.
Baca juga: Pakar: Multi Drug Treatment bantu putuskan rantai penularan kusta
"Tentu saja kegiatan yang dilakukan harus komprehensif mulai dari surveilans, peningkatan penemuan kasusnya, tatalaksana yang lebih baik, juga promotif," kata dia.
Imran berpendapat penularan penyakit kusta kini masih belum dihilangkan. Dia mengatakan, pada tahun 2022 ditemukan terdapat tujuh provinsi dan 113 kabupaten/kota yang belum mencapai eliminasi kusta. Padahal Indonesia sebenarnya telah mencapai eliminasi kusta secara nasional dengan prevalensi kurang dari 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2020.
Selain itu, kasus kusta dengan dengan disabilitas tingkat dua masih ditemukan, begitu juga dengan stigma kuat di masyarakat serta pelaksanaan pencegahan dan penemuan dini serta tatalaksana klinis masih belum dilaksanakan secara berkualitas.
Imran juga mencatat adanya keterbatasan akses masyarakat untuk memperoleh pelayanan primer dan rujukan yang berkualitas. Saat ini, sambung dia, walau rumah sakit kusta sudah tidak ada tetapi diharapkan rumah-rumah sakit umum bisa melayani kusta.
"Padahal memang perawatan kusta itu membutuhkan perawatan spesifik sehingga pendidikan atau pelatihan pada petugas kesehatan itu memang jadi kunci agar mereka bisa memberikan pelayanan yang baik pada pasien kusta," demikian ujar dia.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif NLR Indonesia Asken Sinaga terkait RAN berharap melalui RAN Indonesia bisa bebas dari kusta dan konsekuensinya di generasi bangsa.
Baca juga: Ini beda bercak putih panu dengan kusta
Baca juga: Kemenkes catat penderita kusta semester pertama capai 13 ribu orang
Baca juga: Tingginya stigma terhadap kusta sulitkan nakes temukan kasus baru
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023