Kami tidak mungkin mengekang otonomi perguruan tinggi, karena pimpinan universitas sekarang tidak mungkin seperti birokrat, tapi saya sepakat mahasiswa mengawasi otonomi itu, seperti kerja sama universitas dengan industri,"
Surabaya (ANTARA News) - Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Sesditjen Dikti) Kemendikbud Patdono Suwignyo meminta mahasiswa untuk mengawasi pelaksanaan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, terutama kerja sama universitas dengan industri dan universitas asing.
"Kami tidak mungkin mengekang otonomi perguruan tinggi, karena pimpinan universitas sekarang tidak mungkin seperti birokrat, tapi saya sepakat mahasiswa mengawasi otonomi itu, seperti kerja sama universitas dengan industri," katanya di Surabaya, Kamis.
Ia mengemukakan hal itu dalam diskusi publik bertajuk "Peran Swasta dalam Pembiayaan Pendidikan Tinggi" yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ITS Surabaya untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang dibuka Rektor ITS Prof Tri Yogi Yuwono.
Dalam diskusi publik yang menampilkan pengamat pendidikan Prof Daniel M Rosyid dan Presiden BEM ITS Zaid Marhi Nugraha itu, ia mencontohkan pengawasan itu antara lain menolak kerja sama Penerbit ITS dengan Penerbit Majalah Playboy.
"Tapi, kalau ITS bekerja sama dengan PT Astra untuk merancang mobil listrik, tentu harus didukung. Jadi, kerja sama itu harus diawasi, karena kami tidak mungkin membatasi atau bahkan kerja sama itu, sebab otonomi itu sangat dibutuhkan perguruan tinggi sekarang," katanya.
Ditanya mahasiswa tentang jaminan untuk menghindari intervensi asing dalam kerja sama dengan universitas asing, ia menegaskan bahwa otonomi universitas saat ini cukup kuat, karena intervensi pemerintah saja sulit, apalagi universitas asing.
"Pemerintah sekarang memberi kontribusi hingga Rp9 triliun lebih untuk universitas yang ada, sedangkan kontribusi dengan kerja sama berkisar Rp2,5 triliun, termasuk kerja sama dengan universitas asing. Pemerintah saja sulit mengintervensi, meski sumbangannya besar, apalagi universitas asing," katanya.
Dalam kesempatan itu, Presiden BEM ITS Zaid Marhi Nugraha menyatakan penolakan atas otonomi universitas itu, karena kesiapan universitas di Indonesia tidak banyak, kecuali universitas seperti ITB, IPB, UI, UGM, dan sebagainya.
"Buktinya, otonomi itu membuat ada universitas yang bekerja sama dengan industri yang akhirnya industri itu membuka kafe di berbagai sudut kampus. Jadi, saya kira pendidikan tinggi itu merupakan kewajiban pemerintah untuk membiayai, jangan dilemparkan pada industri," katanya.
Apalagi, katanya, kerja sama internasional yang dirancang dalam WTO meliputi 12 sektor, di antaranya sektor pendidikan. "Artinya, kalangan asing sangat berkepentingan untuk melakukan kerja sama antar-universitas dan kerja sama itu kerja sama mirip `perdagangan`," katanya.
Menengahi hal itu, pengamat pendidikan Prof Daniel M Rosyid menyatakan pendidikan tinggi harus dibedakan dengan pendidikan dasar dan menengah, karena pendidikan tinggi lebih mengembangkan budaya kritis, kreativitas, dan kemandirian.
"Karena itu, mahasiswa jangan mendorong peran negara yang lebih besar dalam dunia pendidikan tinggi, karena hal itu hanya tepat untuk pendidikan dasar dan menengah, sedangkan untuk pendidikan tinggi justru tidak tepat, sebab kontraproduktif dengan semangat kritis dan otonomi itu," katanya.
(E011/I007)
Pewarta: Edy M Ya`kub
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013