Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi III DPR, Almuzammil Yusuf, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) agar segera mengakhiri konflik yang melanda dua lembaga negara, yakni Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). "Saya kira MK harus segera memutuskan sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 24c ayat 1 bahwa MK berwenang memutuskan sengketa antar lembaga negara," katanya di Jakarta, Senin. Almuzzamil menyebutkan ada sejumlah persoalan penting antara MA dan KY yang perlu segera diselesaikan, antara lain sikap MA yang tidak menindaklanjuti rekomendasi KY untuk memberi sanksi kepada 18 hakim. Hal itu, katanya, jelas bertentangan dengan UU No.22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, karena pembelaan bukan dilakukan oleh MA terhadap hakim yang direkomendasikan diberi sanksi. Tetapi, lanjutnya, mekanisme pembelaan yang diatur dalam UU tersebut pada pasal 23 ayat 4 adalah hakim yang dijatuhi sanksi sebagaimana dimaksud pad ayat (3) diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim. "Dalam hal pembelaan diri ditolak, ayat 5 mengatur pemberhentian dilakukan oleh MA dan atau MK kepada Presiden," katanya anggota Fraksi PKS asal daerah pemilihan Lampung itu. Ia menambahkan jika MA beralasan pada pasal 24 ayat 1 UUD 1945 yakni "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan" adalah kurang tepat. "Jangan lupa pada UUD 1945 pasal 24 B disebutkan bahwa adalah kewenangan KY untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Semangat pasal 24 B ini untuk membuat hakim tidak bertindak semena-mena dengan dalih kemerdekaan peradilan karena mereka juga manusia yang bisa salah dan khilaf," katanya. Namun ironinya, kata Almuzzammil, mengapa MA ketika berbicara tentang izin menerima hadiah bagi hakim, mereka mengatakan hakim adalah menusia biasa, bukan "manusia menara gading". "Sementara ketika membuat keputusan, MA ingin mendudukkan hakim seperti malaikat yang tak berdosa dan tak punya nafsu, sehingga tidak laik diawasi oleh siapapun termasuk KY yang diamanatkan dalam UUD 1945," katanya. Seharusnya, katanya, MA senang dengan kehadiran KY karena lembaga negara ini meringankan kontrol kerja MA terhadap para hakim, dan bukan sebaliknya. Almuzzammil juga menyinggung ketidakhadiran beberapa hakim agung dan hakim pada persidangan saat didipanggil KY. Hal itu, katanya, jelas melanggar UU No.22/2004 pasal 22 ayat d bahwa memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim. Selain itu, juga pasal 22 ayat 2b poin 4 bahwa badan peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta KY dalam rangka pengawasan perilaku hakim. (*)

Copyright © ANTARA 2006