Peran TPK dalam mendampingi keluarga berisiko stunting sangat berarti. Kerja sama yang baik antarberbagai pihak mulai TPK, puskesmas, rumah sakit, diperlukan agar 13,5 juta keluarga risiko stunting di Indonesia bisa menerima penanganan yang tepat

Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan, dan Informasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sukaryo Teguh Santoso menyatakan bahwa peran Tim Pendamping Keluarga (TPK) sangat berarti untuk mencegah stunting.

“Peran TPK dalam mendampingi keluarga berisiko stunting sangat berarti. Kerja sama yang baik antarberbagai pihak mulai TPK, puskesmas, rumah sakit, diperlukan agar 13,5 juta keluarga risiko stunting di Indonesia bisa menerima penanganan yang tepat dan tepat waktu,” katanya dalam diskusi kelas Tim Pendamping Keluarga yang handal, berempati, dan bersahabat (TPK Hebat) yang diikuti dalam jaringan di Jakarta, Rabu.


Ia menjelaskan, selain mendampingi keluarga berisiko stunting melalui komunikasi, informasi, dan edukasi, tugas TPK yakni memberikan fasilitasi pelayanan rujukan kesehatan, dan fasilitasi layanan program bantuan sosial pada sasaran remaja, calon pengantin, ibu hamil, ibu pasca persalinan dan menyusui serta anak 0-59 bulan.

“Fasilitasi penerimaan bantuan sosial adalah tugas mulia. TPK memberi fasilitasi bantuan sosial pada keluarga yang tidak memiliki akses air minum, jamban atau sanitasi yang layak, dan memenuhi persyaratan untuk mendapatkan bantuan sosial,” katanya.

Terkait penerimaan bantuan sosial ini, ia menegaskan pentingnya peran TPK dalam melaporkan keluarga calon penerima bantuan tersebut kepada kepala desa atau tim percepatan penurunan stunting di daerah, untuk dimasukkan dalam data terpadu kesejahteraan sosial atau DTKS.

Adapun kriteria keluarga berisiko stunting yakni sasaran yang memiliki faktor risiko untuk melahirkan anak stunting, terdiri dari pasangan usia subur, ibu hamil, keluarga dengan anak 0-23 bulan, dan keluarga dengan anak 24-59 bulan serta memiliki faktor risiko terjadinya kondisi stunting yaitu sanitasi dan akses air bersih yang tidak layak.

“Selain itu juga keluarga yang ada pada kondisi 4T, yakni terlalu muda menikah, terlalu tua hamil (di atas 35 tahun), terlalu dekat masa kehamilan, dan terlalu banyak anak,” katanya.

Ia menambahkan, kriteria selanjutnya yakni fakir miskin dan orang tidak mampu, tidak memiliki jaminan kesehatan, dan kondisi rumah yang tidak layak.

“Apabila keluarga berisiko stunting ini tidak didampingi, maka akan berisiko melahirkan anak stunting yang akan mengancam produktivitas dan masa depan bangsa,” kata dia.

Ia juga berpesan pentingnya optimalisasi gizi dalam 1000 hari pertama kehidupan, yang merupakan faktor penting untuk mencegah stunting.

“Pola makan gizi seimbang harus dilakukan mulai dari masa pranikah, kehamilan dilanjutkan pemberian ASI eksklusif, hingga pemberian makanan pendamping ASI. TPK mempunyai peran penting untuk memberikan edukasi ini, utamanya dalam pemberian ASI eksklusif, yang berdasarkan data masih 62-70 persen ibu yang patuh memberikan ASI eksklusif,” demikian Sukaryo Teguh Santoso.

Baca juga: BKKBN: Kunci penurunan stunting terletak pada peran TPK

Baca juga: BKKBN beri fasilitas khusus TPK guna sasar keluarga stunting

Baca juga: BKKBN pastikan pelatihan TPK perkuat pendampingan bagi keluarga

Baca juga: Kepala BKKBN minta pelatihan bagi TPK rampung pada Maret 2023

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2023