"Tolong teman-teman kepala daerah pahami betul, kepala daerah yang cerdas adalah kepala daerah yang mampu memperkuat APIP-nya, karena itu adalah bumper-nya bagi kepala daerah. Kepala daerah tidak akan mampu mengatasi dan mengendalikan semua jajarannya, apalagi setingkat provinsi, kabupaten/kota besar," kata Tito dalam Bincang Stranas: Penguatan APIP Melalui Pemenuhan Kebutuhan SDM di Provinsi/Kabupaten/Kota yang digelar di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Rabu.
Menurutnya, APIP merupakan filter pertama untuk mencegah terjadinya masalah hukum yang merugikan negara. Sebab, APIP memiliki peran yang sangat penting dalam mengawasi penggunaan anggaran pengadaan barang dan jasa, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Tito menegaskan pengawasan internal lebih baik dan efektif daripada pengawasan eksternal. Ketika ada kepala daerah yang tidak bisa memanfaatkan APIP, maka dia termasuk golongan merugi.
Hal ini berkaitan bukan hanya untuk kepentingan kepemimpinan dan organisasi, tetapi juga kepercayaan publik yang sangat dipengaruhi oleh mekanisme pengawasan internal organisasi.
Baca juga: Moeldoko harap inspektorat dapat bekerja sesuai standar
Baca juga: KPK temukan 958 kasus gratifikasi di daerah
Contoh kerugian yang dijelaskan Tito, yaitu dalam program penanganan stunting. Semisal, ada daerah yang menganggarkan penanganan stunting sebesar Rp10 miliar.
"Dari jumlah tersebut, misalnya, hanya mengalokasikan Rp2 miliar untuk pemenuhan gizi ibu hamil dan balita, serta Rp8 miliar sisanya untuk kegiatan persiapan, rapat, koordinasi, studi banding, dan lainnya," ujarnya.
Nilai tersebut meski secara hukum tidak masalah, tetapi daerah merugi karena persoalan utama menjadi tak terselesaikan.
"Ini hanya satu contoh saja. Ada hal yang tidak bisa disentuh oleh APH (Aparat Penegak Hukum), dan itu bisa disentuh oleh APIP, yaitu melakukan efisiensi dalam penyusunan belanja dan juga mengejar potensi pendapatan. Banyak sebenarnya potensi-potensi pendapatan yang bisa dikerjakan oleh daerah, tapi kemudian tidak dikerjakan potensi itu," jelas dia.
Apalagi untuk daerah yang memiliki kemampuan fiskal yang lemah, Tito berharap agar sebagian besar anggaran tidak dipakai untuk belanja pegawai dan operasional, melainkan digunakan untuk program inovatif yang bisa menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Dia mendorong agar anggaran digunakan secara efektif dan efisien, apalagi di tengah pertarungan dinamika di daerah yang bergerak sangat cepat. Kemudian, penumpukan jumlah tenaga honorer yang tidak punya keahlian khusus membuat belanja pegawai di daerah-daerah yang bergantung dari transfer pusat semua tersedot ke situ anggarannya.
Baca juga: Irjen Kementan ajak APIP-APH kendalikan alih fungsi lahan pertanian
"Setelah itu membuat program kegiatannya operasional-nya untuk pegawai lagi yang banyak lagi, yang belanja modal yang betul-betul menyentuh untuk rakyat, membangun jalan, mungkin cuma 15-20 persen. Jadi tidak ada kemajuan apa-apa," tutur Tito.
Untuk itu, ia mendorong pemerintah daerah agar lebih bijaksana dalam menggunakan anggaran. Terutama digunakan dalam hal penguatan pelayanan dasar hingga infrastruktur. Kemudian, untuk daerah yang memiliki kemampuan fiskal rendah diharapkan bisa meningkatkan investasi, sehingga PAD berubah menjadi lebih baik.
"Kuncinya bagaimana caranya memperkecil belanja pegawai, memperkuat mengefisiensikan belanja-belanja yang tidak perlu, dipindahkan ke kegiatan langsung kepada masyarakat, pendidikan kesehatan dan infrastruktur, dan lain-lain," ujarnya.
Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023