Warga mau mengerjakan karena sudah lihat bukti.

Makassar (ANTARA) - Berawal pertemuannya dengan ibu rumah tangga di desa terpencil Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, pada 1993, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Prof. Dorothea Agnes Rampisela tersadarkan dengan kenyataan yang mengubah hidupnya.

Kala itu, usai menempuh studi di Jepang dengan beasiswa, ia mendapat pekerjaan sebagai penerjemah bahasa di tim Japan International Cooperation Agency (JICA) yang bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Pemerintah Provinsi Sulsel untuk proyek pemberantasan kemiskinan.

Meski mulanya sebagai penerjemah, lama- kelamaan ia diberikan tugas lain walaupun bukan sebagai pakar di bidang tersebut. Tugasnya di awal ikut meneliti bersama periset Jepang dengan mewawancarai petani, khusus perempuan berkaitan gender.

"Itu di Takalar, saya sudah lupa desa apa, tapi dari situ mengubah sekali (hidup) saya. Waktu itu diajak ke rumahnya dan ibu ini saya lupa lagi namanya. Ia berkata hati-hati karena lantai papan rumahnya sudah berlubang-lubang," papar Prof Agnes menceritakan kisahnya di Ruang Seminar Fakultas Pertanian Unhas.

Saat wawancara disertai kuisioner, kala itu dia bilang punya satu anak, baru masuk SMP, laki-laki, sedangkan ia sudah bercerai dari suaminya yang menikah lagi. Jadi, ia harus membesarkan anaknya sendirian. Karena tidak mampu, anaknya dikirim ke saudara di desa sebelah.

Perempuan itu, seingat Agnes, hanya mempunyai sepetak lahan ditanami padi, yang semua hasil lahan di kirim ke anaknya di keluarga yang membantu membesarkan dan menyekolahkan. Ia bahkan ikut bantu-bantu tetangga membersihkan rumput atau disuruh orang cabut ubi, yang sebagian hasilnya dijadikan makanan.

Apabila malam hari ia tidak tidur di rumah itu karena semacam rumah ladang. Malam tidur di rumah saudara lainnya karena bisa menumpang makan. Ibu itu juga terlihat sangat renta, padahal umurnya lebih muda darinya. Sebagai penerjemah, ia digaji Rp200 ribu per hari, lumayan besar pada masa itu.

Sementara ibu ini, Rp3.000 saja tidak punya. Dari situlah, muncul rasa bersalah dalam dirinya sehingga jiwa sosialnya bangkit dan berpikir bagaimana bisa membantu mereka, namun tanpa diberi uang.

Agnes mengaku masih ingat wajah ibu itu, tapi sudah tidak ingat lagi desanya. Sampai sekarang ia tidak pernah temukan dia, padahal ingin sekali datang memberi sesuatu. Ibu itu dinilai telah memberikan penyadaran bahwa masih ada orang jauh di bawah dirinya.

Sejak terangkat menjadi dosen di Fakultas Pertanian Unhas tahun 1983 dengan gaji kala itu Rp26 ribu per bulan, ia tetap berkegiatan dengan menjadi fasilitator dan penerjemah berkat keahliannya berbahasa Jepang.

Sebagai dosen dan hidup di daerah perkotaan, menurut ahli pertanahan ini, tidak berbanding lurus dengan kondisi di desa, yang kala itu masih serbakekurangan.


Gerakan minum susu kedelai

Bekerja di daerah penelitian dengan kondisi masyarakat desa tertinggal yang serbasulit, ia juga menyaksikan anak-anak jarang minum susu. Bocah-bocah itu lebih sering diberikan teh manis yang tidak bergizi.

Kenyataan itu membuatnya memutar otak bagaimana caranya anak-anak bisa terpenuhi gizinya, minimal ada tambahan nutrisi.

Akhirnya muncul solusi dengan membuat susu kedelai. Agnes memikirkan konsep dasar yang diberi nama rantai gizi kedelai, perempuan, dan kecerdasan anak.

"Saya mulai cari, waktu itu harga kedelai masih seribu rupiah per kilogram. Saya punya uang Rp100 ribu dan bisa saya bikin 100 liter susu kedelai. Kalau satu liter satu anak, bisa 100 anak minum," ucapnya.

Kadang, rekannya ikut menyumbang Rp100 ribu, honor yang didapatkan disumbangkan beli kedelai lalu kembali ke desa untuk diolah menjadi susu lalu dibagikan kepada anak-anak.

Niat tulus membantu pemenuhan gizi anak di desa mendapat perhatian dari Profesor Husni Tanra, Presiden Ascosiation Medical Doctor of Asia (AMDA) Chapter Indonesia, yang menyatakan bisa membantu. Ia diberi dana agar dapat membagikan susu kedelai, yang berjalan hingga setahun.

Gerakan sosial terdengar pegawai Konsulat Jepang. Lalu ia menawarinya apakah mau menyumbang? Mereka mau dan rutin membantu.

Pegawai konsulat itu menyampaikan ada dana di konsulat yang bisa dipakai. Dia lalu mempertemukannya dengan pimpinan Konsulat Jepang di Makassar.

Agnes kemudian mendirikan LSM, namanya Lembaga Pelangi pada tahun 2000 agar dapat mengajukan proposal untuk pendanaan Grassroot Jepang.

Aturannya sebenarnya hanya LSM yang sudah beroperasi 2 tahun yang bisa mengajukan bantuan. Akan tetapi, meskipun itu baru, lembaganya diizinkan ikut karena kegiatan pembagian susu kedelai itu sudah berjalan lebih dari 2 tahun.

Alumnus doktor dari Kyoto University Japan 1992 itu menceritakan dari situlah gerakan pembagian susu kedelai kepada anak-anak mulai menyebar dari satu desa menjadi lima desa di Kabupaten Takalar dan Kabupaten Gowa. Aksi sosial ini berlanjut sampai 2 tahun, lalu pada tahun ketiga berkembang lebih pada pemberdayaan perempuan petani kedelai.

Hasil biji kedelai yang ditanam, lalu dibeli. Ibu-ibu di desa tersebut diajari membuat susu kedelai. Karena sudah mahir, anak-anak desa mulai menyukainya. Agnes berharap bahwa ini bisa menjadi potensi bisnis karena bisa langsung membeli susunya, tetapi warga desa tidak berkeinginan menjalankan itu.

"Saya tidak tahu apa risiko mereka, padahal sudah dikasih alatnya, biasa dipakai membuat susu. Mereka lebih suka dibeli biji kedelainya. Akan tetapi sudahlah, saya merasa tidak berhasil menjadikan mereka pebisnis," ungkap perempuan kelahiran Makassar 17 Januari 1957 itu.

Namun ia tak patah arang, tetap mengedukasi perempuan desa binaannya dengan sajian makanan sehat, memasak mi instan dengan kedelai, sampai mengadakan lomba masak makanan sehat. Tidak sampai di situ, selain pemberdayaan perempuan dan kedelai, Agnes juga menyiapkan beasiswa bagi anak-anak di Desa Tanabangka, Kabupaten Gowa.

Prof. Dr. Ir. Dorothea Agnes Rampisela Guru Besar Universitas Hasanuddin Makassar berfoto disela melaksanakan penelitian di Kabupaten Toraja, Sulawesi Selatan. ANTARA/HO-Dokumen Pribadi.


Berbagi air, berbagi rezeki

Peneliti yang pernah menjadi Tenaga Ahli JICA ini waktu itu prihatin karena air Bendungan Bili-bili di Kabupaten Gowa belum dimanfaatkan maksimal. Ia lalu mulai lagi ikut mencari solusi bagaimana cara membantu warga di desa itu bisa menambah penghasilan pertanian melalui sumber daya air.

Ia membantu penyadaran masyarakat tentang betapa pentingnya pembuatan irigasi untuk saluran sekunder dan saluran tersier sampai air tiba di lahan warga, yang sebelumnya tidak ada.

Ia bahkan melaksanakan berbagai kegiatan Pemberdayaan Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air di Wilayah Irigasi Bili-bili tahun 2010 agar suplai air menjadi adil dan semua warga dari hulu ke hilir mendapatkan hak yang sama untuk ketersediaan air.

Aktivitas yang tampaknya hanya kegiatan sosial itu ternyata dianggap sebagai penelitian dan menarik beberapa peneliti Jepang, yang berujung pada ajakan menjadi co-team leader pada Research Institute for Humanity and Nature (RIHN) sekaligus memberikan posisi sebagai pegawai negeri Jepang selama 3 tahun.


Raih penghargaan Menlu Jepang

Sejatinya, kegiatan sosial yang dikerjakan selama beberapa tahun itu memang tanpa pamrih. Apa yang dilakukan itu atas nama kemanusiaan, seperti membagikan susu kedelai hingga mengajari perempuan desa membuat susu kedelai sehat dan memprakarsai penyediaan air irigasi.

Ibu dua anak ini menegaskan tidak pernah memberi uang atau upah kepada perempuan dan petani di desa binaannya, tetapi lebih pada memberikan pengetahuan dan keterampilan serta menata jaringan kerja sama dan komunikasi distribusi air.

Warga mau mengerjakan karena sudah lihat bukti. Ia dapat kepercayaan dari orang desa maupun dari pihak Jepang baik dari konsultan maupun peneliti.

Professor tamu pada Research Institute for Humanity and Nature (RIHN) itu bersyukur diberi penghargaan yang sangat luar biasa atas dedikasinya selama 30 tahun menjalankan kesungguhannya menjadi penyambung komunikasi antara Indonesia dan Jepang.

Penghargaan tersebut langsung dari Pemerintah Jepang yang disebut Foreign Minister’s Commendation for FY 2023 dalam rangka "Promotion of Mutual Understanding between Japan and Indonesia" atau Promosi Saling Pemahaman antara Jepang dan Indonesia. Agnes merupakan satu-satunya tokoh dari Kota Makassar yang menerima penghargaan itu.

Agnes selalu berusaha menyetarakan kedudukan Indonesia dengan Jepang, dalam arti melayani mereka namun menutupi kekurangan-kekurangan bangsa ini, bila ada, agar kedua pihak selalu setara dalam kerja sama.

"Saya berusaha bagaimana meningkatkan pemahaman persahabatan antara Indonesia dan Jepang, itu terpenting," papar Direktur Sago Research And Development Center Unhas itu.

Profesor Unhas ini telah enam kali diundang menjadi profesor tamu di berbagai Lembaga penelitian dan universitas di Jepang, antara lain Tokyo University, Kyoto University , Research Institute for Humanity and Nature, Toyo University, dan saat ini masih sebagai profesor tamu di Universitas Ehime dalam rangka kerja sama penelitian di Malawi Afrika.

Pemerintah Jepang memberikan penghargaan kepada 187 orang dari berbagai negara. Untuk Indonesia tercatat ada enam orang, yakni Prof. Dorothea Agnes Rampisela dari Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unhas Makassar, Diah Madubrangti, Direktur Studi Center Jepang Universitas Indonesia, Sidoarjo. Doddy Alfero, Presiden dan Perwakilan Nasional JETAA Indonesia, Sidoarjo.

Kemudian, Kobi Yoshihiro, pendiri SMK Mitra Industri MM2100 Jakarta Selatan. Heru Santoso Eto, Yayasan Warga Persahabatan (Fukushi tomo no kai), Ketua Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, dan Emil Elestianto Dardak, Wakil Gubernur Provinsi Jawa Timur, Surabaya.

Penghargaan tersebut diumumkan pada Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2023.


Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023