Jakarta (ANTARA) - Ekonom senior Faisal Basri menyebutkan banyak sumber pendanaan alternatif, termasuk pemanfaatan ekspor energi kotor untuk mempercepat transisi investasi pada energi bersih maupun energi baru terbarukan (EBT) sekaligus menuju target nol emisi pada 2060.


Dia menjelaskan salah satu contohnya adalah memanfaatkan kelompok batu bara yang total nilai ekspornya semakin bertambah dari tahun ke tahun.
"Daripada mengemis ke internasional, lebih baik kalau memanfaatkan energi kotor untuk investasi bersih. Itu baru keren," kata Faisal Basri dalam acara Transisi Energi Indonesia & Antisipasi Implikasinya Dan Peluncuran The Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 yang dilaksanakan secara daring, Rabu.

Ia mengatakan kegiatan ekspor batu bara di Indonesia sudah seharusnya memberlakukan skema pungutan tambahan atau windfall profit tax maupun pajak lingkungan mengikuti negara lain, seperti Mongolia.

Menurut dia, skema pungutan tambahan itu merupakan keuntungan atau pajak yang diperoleh dalam jumlah besar dari hasil perolehan yang tidak terduga akibat kondisi tertentu, seperti tahun lalu ketika harga batu bara melonjak naik.

Faisal mengungkapkan bahwa tahun lalu, ekspor kelompok batu bara melonjak hingga mengambil ¼ porsi dari total ekspor Indonesia dengan nilai keuntungan mencapai 71 miliar dolar AS atau setara dengan Rp1.000 triliun rupiah.

"Harusnya dari keuntungan sebesar itu, minimal ada 50 persen pajak lingkungan atau windfall profit tax sehingga dapat tambahan 500 triliun rupiah untuk investasi energi bersih," kata Faisal.

Dengan demikian, ia berargumen, pemerintah tidak perlu khawatir akan kekurangan pendanaan terkait investasi energi bersih bila memiliki mekanisme yang jelas.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM Gigih Adi Utomo menjelaskan Indonesia kembali mendapatkan pendanaan investasi untuk transisi energi melalui skema Mekanisme Transisi Energi (ETM) serta Just Energy Transition Partnership (JETP) usai gelaran KTT G20.

Pemerintah Indonesia bersama dengan Amerika Serikat dan Jepang berhasil menyepakati pendanaan sebesar 20 miliar dolar AS atau Rp300 triliun melalui skema Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP), serta sebesar 500 juta dolar AS atau Rp7 triliun melalui skema ETM pada KTT G20.

Kedua kerjasama ini untuk mendukung capaian target emisi puncak sektor ketenagalistrikan sebesar 290 juta metrik ton CO2 (MtCO2) pada tahun 2030, bauran energi terbarukan sebesar 34 persen di 2030, serta sektor ketenagalistrikan menjadi net-zero pada tahun 2050.


Baca juga: Pertamina beri akses energi baru terbarukan ke enam desa

Baca juga: Kementerian ESDM: Potensi EBT Indonesia diproyeksi 3.687 Giga Watt

Pewarta: Hana Dewi Kinarina Kaban
Editor: Imam Budilaksono
Copyright © ANTARA 2023