Sebenarnya kami para buruh tidak mengendaki upah naik tinggi, tetapi lebih pada pemberian upah yang didasarkan kepada keadilan kedua belah pihak dengan prinsip keadilan, sistemnya yang benar, dan memperhatikan para buruh yang sudah berkeluarga."

Semarang (ANTARA News) - Unjuk rasa turun ke jalan memperingati Hari Buruh setiap tanggal 1 Mei atau sering disebut "May day" seakan menjadi agenda rutin bagi sebagian besar buruh di seluruh negara termasuk di Indonesia.

Pada hari itu buruh meliburkan diri untuk menyuarakan aspirasi dan tuntutan mereka karena hingga saat ini cara ini terbukti ampuh dan lebih mendapatkan perhatian.

Tanggal 1 Mei layaknya panggung besar bagi para buruh, namun ternyata dari tahun ke tahun tema sentralnya selalu sama; masalah upah.

Pengulangan tema sentral tersebut menimbulkan pertanyaan menggelitik hati; kenapa upah selalu menjadi tema sentral? Kenapa masalah upah tidak pernah terselesaikan? Apa yang salah dengan sistem pengupahan?

Melihat tren tema sentral May Day selama ini, jangan-jangan May Day di tahun berikutnya juga tema sentralnya tetap sama.


Tuntutan Upah Layak

Bagi para buruh di Kota Semarang, tuntutan upah yang layak, dengan tambahan tema lain yang menyesuaikan isu hangat yang tengah dihadapi para buruh, selalu menjadi tema sentral unjuk rasa dalam rangka memperingati May Day.

Di tahun 2013 ini misalnya, Ketua DPC Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kota Semarang Heru Budi Utoyo menyebutkan bahwa tema sentral yang diangkat para buruh masih berkutat masalah tuntutan upah layak, selain tema lain seperti tuntutan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional dan penolakan terhadap rencana pemerintah menaikkan harga BBM.

Masalah upah yang selalu menjadi tema sentral, menurut Heru, disebabkan karena adanya ketidakberesan sistem pengupahan serta tidak adanya kesamaan cara pandang terhadap hasil survei biaya hidup.

Buruh mengaku meskipun upah buruh Kota Semarang Rp1.209.100 atau lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya, tetapi mereka menilai nominal tersebut masih belum dapat "mengcover" kebutuhan sehari-hari.

Apalagi penentuan upah buruh belum memenuhi sejumlah kriteria yang diperjuangkan para buruh setiap tahunnya di antaranya 100 persen sesuai kebutuhan hidup layak (KHL), memenuhi 122 item yang disurvei (saat ini baru 60 item), dan mengacu laju inflasi.

Survei yang dilakukan juga masih berpatokan kepada kebutuhan buruh lajang, padahal hasil survei yang dilakukan buruh mencatat bahwa 52 persen buruh sudah berkeluarga. Akibatnya saat buruh yang sudah berkeluarga mendapatkan upah dengan ukuran untuk buruh lajang, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan anak dan istrinya.

Dalam implementasi di lapangan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga masih ditemukan tidak bersedia menjalankan kesepakatan bersama yang sudah ditetapkan bersama misalnya di Kota Semarang disepakati tanggal 8 Agustus 2012 ada penetapan mengenai merek, tempat, dan barang yang akan disurvei.

Untuk survei kamar tidur misalnya yang sudah disepakati 3X5 meter, tetapi implementasi di lapangan justru yang disurvei untuk kamar dengan ukuran 3X3 meter atau suvei mebel yang harusnya di toko mebel, tetapi dilakukan di toko pinggiran.

Alasan lainnya, meskipun pemerintah sudah menetapkan upah, pemerintah masih memperbolehkan adanya penangguhan pembayaran upah buruh.

Bagi para buruh, permasalahan yang sama dari tahun ke tahun dikarenakan regulasi Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenakertrans) tidak mengarahkan buruh mendapatkan upah yang layak.

"Sebenarnya kami para buruh tidak mengendaki upah naik tinggi, tetapi lebih pada pemberian upah yang didasarkan kepada keadilan kedua belah pihak dengan prinsip keadilan, sistemnya yang benar, dan memperhatikan para buruh yang sudah berkeluarga," kata Heru Budi Utoyo.

Apalagi hingga saat ini masih ada perusahaan yang melakukan penangguhan pembayaran upah, perusahaan yang tidak memberikan jaminan sosial kepada para tenaga kerjanya, serta hak lainnya.


Kesamaan Paradigma

Pengamat ekonomi dari Universitas Stikubank Semarang Alimuddin Rizal Rifai menilai bahwa permasalahan utama buruh berupa tuntutan upah layak yang terjadi setiap tahun, terjadi karena adanya perbedaan paradigma antara buruh dan pengusaha yakni buruh menginginkan pendapatan yang tinggi, sementara dari pengusaha menginginkan efisiensi.

Tingkat efisiensi tersebut dapat tercapai jika buruh berkompeten sehingga sebuah pekerjaan menjadi lebih efektif, menghasilkan produk yang bagus, dan lebih banyak.

Kondisi buruh yang berkompeten tersebut menjadi aset perusahaan dan tentunya pengupahannya akan menyesuaikan. Hal terpenting lain yang dibutuhkan adalah manajemen terbuka yang hingga saat ini masih rendah diimplementasikan.

Sebuah perusahaan yang menerapkan manajemen terbuka akan melibatkan buruhnya untuk bersama-sama memajukan perusahaan atau industrinya. Keduanya berjalan beriringan yakni buruh menjadi ujung tombak dan pengusaha menjadi pemilik modal yang besar dan menguasai akses pasar.

Keterlibatan buruh,lanjut Alimuddin, sangat erat untuk kemajuan atau kemunduran dari perusahaan menjadi sangat penting, sehingga buruh dapat mengetahui kondisi tempat bekerjanya. Ada kekhawatiran tuntutan terhadap hak yang besar akan menyebabkan perusahaan bangkrut sehingga justru dapat merugikan kedua belah pihak.

Untuk memiliki aset buruh yang berkompeten tersebut, diperlukan tingkat pendidikan yang memadai mulai dari kesiapan pendidikan yang mengacu pada kurikulum serta adanya pelatihan di perusahaan tempat bekerja.

Pelatihan spesifik tersebut dimaksudkan untuk memenuhi keinginan pasar kerja, apalagi tenaga kerja bersangkutan kurang terdidik, sehingga dapat meningkatkan kompetensinya.

Upaya peningkatan kompetensi tenaga kerja sangat diperlukan karena berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (Kadin), jumlah tenaga kerja yang kurang terdidik di Indonesia masih tinggi yakni mereka yang berpendidikan di bawah SD dan SMP mencapai 68,27 persen (74.873.270 jiwa) dari jumlah penduduk yang bekerja (110.808.154 jiwa), sehingga menyebabkan masih rendahnya produktivitas dan daya saing tenaga kerja.

Kesempatan terpisah Ketua Apindo Jawa Tengah yang juga Wakil Ketua Umum Bidang Industri dan Ketenagakerjaan Kadin Jateng Frans Kongi menilai bahwa tuntutan upah yang layak dari para buruh merupakan hal wajar.

"Akan tetapi yang perlu buruh ketahui adalah kemampuan dari masing-masing perusahaan tidak sama," katanya.

Terkait dengan kompetensi para tenaga kerja, Frans Kongi mengakui bahwa pengusaha di Jateng masih harus mendidik setiap tenaga kerja baru karena mereka belum siap kerja.

"Untuk mereka yang lulus SMK, dasarnya sudah ada. Akan tetapi masih harus didik begitu masuk dunia industri," kata Frans Kongi.

Kadin sangat mendorong adanya "link and match" antara sektor pendidikan melalui kurikulumnya dengan pasar tenaga kerja agar memenuhi kebutuhan industri.

Penataan sistem pengupahan tentu sangat diperlukan agar dunia usaha terus berjalan kondusif dan tidak terjadi perumahan tenaga kerja atau merelokasi pabriknya ke daerah yang menerapkan upah minimum lebih rendah.

Output dari penataan sistem pengupahan tersebut diharapkan tidak ada lagi muncul tema utama yang selalu muncul setiap peringatan "May Day" serta karena tidak ada lagi istilah tenaga kerja dan pemberi kerja, menolong dan ditolong, tetapi masing-masing merupakan pihak yang saling membutuhkan. (*)

Oleh Nur Istibsaroh
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013