Saya bukan meminta dilayani sebagai raja, tapi hargai saya sebagai manusia, bukan binatang ...
Kuala Lumpur (ANTARA) - Genap 12 tahun ia meninggalkan rumah. Derfi Bisilisin, perempuan asal Desa Bakoein, Kecamatan Amfoang, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), mengadu nasib di Malaysia menjadi asisten rumah tangga.
Tanpa kabar berita selama lebih dari 9 tahun, keberadaannya bak ditelan Bumi. Mamanya pun begitu terkejut ketika di 2021 Derfi menghubungi untuk kali pertama.
“Tanggal 1, bulan 1, tahun 2021, baru bisa hubungi keluarga saya,” ujar Defri, mengingat dengan jelas kapan akhirnya dirinya dapat berbicara dengan mamanya dan saudara-saudaranya di kampung melalui sambungan telepon.
“Itu pun cuma 10 menit, suruh telepon keluarga,” kata Derfi, yang saat itu ia berada di Rumah Perlindungan Khas Wanita di Kota Bharu, Kelantan, setelah berhasil kabur untuk ke sekian kalinya dari rumah majikan di Kota Bharu, Kelantan.
“Pertama kali mama saya juga bingung. Kaget dia. ‘Emang anak saya masih hidup? Saya ingat kau sudah mati’,” kata Derfi, mengulangi ucapan mamanya.
“‘Iya’, saya bilang. ‘Saya mati hidup kembali’,” kata Derfi, mengulangi kata-katanya kepada sang mama dengan logat NTT-nya.
Cerita itu ia sampaikan kepada ANTARA di luar ruang sidang di Pengadilan Sipil Kota Bharu, Kelatan, awal pekan lalu.
Sidang yang teramat penting baginya. Untuk menuntut hak gaji dari setiap tetes keringat dan air mata yang telah mengalir selama dirinya bekerja 9 tahun 3 bulan dengan majikan, Koe Bon Aik, di Kelantan.
Awal ke Malaysia
Pada 2011, anak ketiga dari empat bersaudara itu meninggalkan kampung halamannya. Tidak ada firasat buruk saat itu.
Orang tuanya petani. Mereka mengandalkan kebun jagung dan padi tadah hujan sebagai satu-satunya sumber penghasilan keluarga.
Yang ia inginkan hanya dapat bekerja, memperoleh penghasilan, dan bisa membantu kehidupan keluarganya di kampung. Seperti yang dilakukan salah seorang tetangganya yang, menurut Derfi, sukses bekerja di Malaysia hingga mampu membangun rumah menjadi lebih baik.
Perempuan muda kelahiran 12 Desember yang tidak menamatkan sekolah menengah pertamanya itu masih ingat keberangkatannya bersama agen yang menyalurkannya bekerja di Malaysia.
Setelah melakukan perjalanan darat ke Kupang, mereka terbang ke Batam via Jakarta. Lalu menyeberangi Selat Malaka menuju Johor Bahru, sebelum melanjutkan perjalanan darat hingga Kelantan.
Jika ditotal setidaknya butuh waktu 22 jam melakukan perjalanan tanpa henti dari kampung halamannya di NTT hingga sampai ke Kota Bharu, Kelantan, Malaysia, dengan menggunakan mobil, pesawat, dan kapal. Perjalanan menjadi butuh waktu beberapa hari karena transit.
Sebelum dijemput majikan, Derfi mengaku sempat mendapat pelatihan dari agen. Ia diajarkan hal-hal dasar pekerjaan rumah tangga dan awalnya dijanjikan menerima 600 ringgit Malaysia per bulan (sekitar Rp1,7 juta dengan kurs RM1 sekitar Rp2.900 pada 2011).
Perbandingan gaji yang tentu menggiurkan, mengingat, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, upah minimum regional (UMR) Provinsi NTT pada 2011 hanya Rp850.000. Tidak heran jika banyak dari mereka yang nekat merantau tanpa bekal dan wawasan yang memadai.
Namun, pada perjanjian awal bekerja, ia tidak akan menerima RM600 selama 6 bulan karena semua akan diserahkan pada agen sebagai ganti ongkos perjalanan dari kampung hingga sampai ke Kelantan.
Bekerja tanpa henti
Saat bersaksi di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Sipil Kota Bharu Mohd Zul Zakiqudin Bin Zulkifli, Derfi menyampaikan bagaimana perlakuan keluarga majikan terhadap dirinya selama bekerja di sana yang tidak memperlakukan dirinya sebagai manusia.
Tidak ada tempat tidur yang layak untuknya, hanya ada lantai yang dingin tanpa alas. Bantal dan selimut terlalu mewah baginya saat itu.
Makan pun hanya sekali sehari saat malam hari, sementara dia harus bekerja dari pukul 05.00 subuh hingga pukul 02.00 atau 03.00 dini hari waktu Malaysia.
Derfi harus melayani total sembilan orang kakak beradik majikan, anaknya, termasuk ibu mereka. Total tujuh orang dewasa dan dua anak-anak.
Namun, belakangan jumlah itu bertambah menjadi lima anak-anak dan tujuh orang dewasa.
Ia harus mengerjakan berbagai jenis pekerjaan rumah tangga, mulai dari mencuci baju, menyapu, mengepel, setrika pakaian, cuci piring, masak, membereskan rumah pada pagi dan malam hari. Adapun pada siang hari, Derfi harus bekerja di bengkel mobil milik keluarga majikannya.
Ia harus melayani pembeli, memasang aksesoris mobil seperti kaca film hingga lampu mobil. Semua ia kerjakan mulai pukul 09.30 pagi hingga terkadang pukul 21.00.
Masih di hadapan majelis hakim, Derfi menceritakan pernah harus bertengkar hebat dengan saudara majikannya ketika meminta sebungkus Maggi (mi instan) untuk mengisi perutnya yang terasa sangat lapar kala itu. Saudara majikannya itu akhirnya memberikan mi instan, dengan cara melemparkan mi tersebut ke wajahnya.
Ia mengaku tidak mendapat jatah makan siang di bengkel. Terkadang teman-temannya, yang merupakan warga lokal, menyisakan roti untuknya, dan disembunyikan di bagian belakang bengkel agar dapat dimakannya saat tidak ada keluarga majikan yang melihat.
Derfi memiliki visa kerja pada tahun-tahun awal bekerja di Malaysia. Namun, dokumen resmi untuk dapat tetap bekerja secara legal itu tidak lagi diperpanjang oleh majikan, dan itu membuat posisi tawarnya sebagai pekerja migran di negeri asing itu semakin sulit.
Setiap kali ada polisi datang untuk memperbaiki mobil atau sekadar memasang aksesoris di bengkel majikannya, dirinya selalu diminta untuk menghindar dan masuk ke belakang bengkel.
Kekerasan fisik dan psikis
Sepanjang dirinya bekerja bersama keluarga Koe Bon Aik, ia sudah merasakan memar di kepala, mulut, dan lengan. Kekerasan yang tidak dikehendakinya itu dilakukan terkadang dengan tangan kosong maupun gantungan pakaian.
Derfi, di hadapan hakim juga mengaku pernah ditampar dan dipukul dengan kursi kayu. Semua kekerasan itu ia rasakan atas tuduhan telah memukul istri majikan.
“Padahal istrinya yang pukul saya,” kata Derfi membela diri di hadapan majelis hakim.
Kata-kata kasar kerap tertuju padanya, melayang ringan dari mulut majikan dan keluarganya, menempatkan dirinya pada posisi terendah sebagai manusia ciptaan Tuhan yang sempurna. Pada hakikatnya, semua manusia terlahir di dunia pada derajat yang sama, namun itu tidak berlaku bagi Defri.
Defri sesungguhnya sosok yang tegar. Itu yang dapat terlihat hanya dengan berbincang beberapa saat dengannya.
Namun sekuat apa pun, pada akhirnya pertahanan dirinya runtuh siang itu di hadapan majelis hakim. Sangat jelas Derfi menahan tangis.
Suaranya mulai terdengar berat saat menjelaskan mengapa dirinya tidak hanya berhak mendapatkan seluruh gajinya selama bekerja 9 tahun dan 3 bulan, tetapi juga ganti rugi dari cedera yang ia alami sepanjang bekerja.
“Sebagai seorang manusia … (Derfi terisak) saya sadar saya hanya sebagai seorang pembantu rumah, yang datang jauh dari Indonesia dan tidak mempunyai keluarga di Malaysia. Saya bukan meminta dilayani sebagai raja, tapi hargai saya sebagai manusia, bukan binatang (terisak lagi).
Setidak-tidaknya perlakukan dan anggaplah saya seorang manusia yang sepatutnya mendapatkan perlakuan sama sebagaimana manusia-manusia yang lain. Ini tidak mudah. Saya tidak mendapat gaji dan upah atas setiap kerja yang saya lakukan. Saya dituduh, dihina, dan diperlakukan dengan buruk sekali sepanjang saya bekerja dengan defenden,” kata Derfi dalam persidangan siang itu.
Menuntut keadilan
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur mendapat menerima aduan terkait kasus Derfi per telepon dari pemilik agensi tenaga kerja di Kota Bharu pada awal November 2020. Aduan juga telah dilayangkan ke Jabatan Tenaga Kerja (JTK) Kelantan dan penyelidikan dilakukan sebagai kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Majikan Derfi menghadapi dua tuntutan pidana di Mahkamah Sesyen Kota Bharu pada November 2020, yakni (1) kesalahan kejahatan perdagangan orang dalam bentuk kerja paksa berdasarkan Pasal 12 Akta Anti Perdagangan Orang dan Penyelundupan Migran (ATIPSOM), serta (2) atas kesalahan penganiayaan berdasarkan Pasal 324 Hukum Pidana.
Tuntutan pidana itu dimenangi majikan Derfi yang berhasil meyakinkan Majelis Hakim Mahkamah Sesyen Kota Bharu Tuan Ahmad Bazli Bahruddin bahwa mereka tidak bersalah sehingga diputuskan dilepas dari hukuman pidana.
Namun dalam putusan tingkat banding pada Januari 2023, Koe Bon Aik beserta istrinya telah dinyatakan bersalah melakukan kejahatan ATIPSOM unsur kerja paksa, dan hakim menjatuhkan hukuman penjara masing-masing 7 tahun untuk majikan dan 3 tahun untuk istri majikan, serta denda sebesar RM30.000 atau sekitar Rp92 juta.
Kini KBRI Kuala Lumpur mendampingi Derfi menuntut keadilan secara perdata atas gaji yang tak perah diterimanya dari majikan. Pada 30 Juni 2022, surat perintah pemanggilan untuk tuntutan gaji sudah dilayangkan pada pihak majikan dan mengajukan tuntutan ke pengadilan dalam dua tuntutan terpisah, yaitu pertama, tuntutan gaji sebagai pembantu rumah sebesar lebih dari RM160.000 (sekitar Rp522,72 juta).
Kedua, tuntutan gaji sebagai pembantu bengkel aksesoris mobil atau mekanik terhadap lebih dari RM170.000 (sekitar Rp555,39 juta).
Sebelumnya Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia Hermono menyampaikan bahwa sebagian besar kasus yang pekerja migran Indonesia alami di Malaysia adalah persoalan gaji yang tidak dibayar oleh majikannya. Bahkan, banyak dari majikan yang melakukan itu termasuk golongan mampu.
Ia juga sempat menduga akar masalah itu terjadi karena sikap merendahkan (superiority complex) sebagai orang Malaysia terhadap pekerja migran asal Indonesia, dan tidak pernah merasa takut pada konsekuensi hukum.
Beberapa kasus serupa terkuat di 2023 seperti yang dialami seorang pembantu rumah tangga asal Banyuwangi, Jawa Timur, yang mengalami penyiksaan selama 6 bulan dan tidak digaji sejak mulai bekerja. Kasus itu terungkap pada akhir April lalu setelah pekerja migran itu berhasil kabur dari rumah majikan dengan tubuh penuh luka.
Kasus lainnya yang terungkap menimpa pekerja migran asal Sumatera Utara yang bekerja sebagai pembantu di Kuala Selangor, Malaysia, yang mengalami penyiksaan hingga pemerkosaan oleh majikan yang merupakan seorang nelayan. Lina (bukan nama sebenarnya) bekerja dengan seorang nelayan Malaysia sejak September 2020, dan hanya satu kali menerima gaji.
Yang terbaru, pekerja migran asal Banjarnegara, Jawa Tengah, mengalami penyiksaan dan tidak digaji selama 5 tahun oleh majikan yang merupakan mantan politisi bergelar Dato’. Kekerasan fisik sering Nunik (bukan nama sebenarnya) alami tanpa alasan yang jelas.
Sama dengan Derfi, Nunik sempat kabur namun ditemukan lagi oleh sang majikan, dan harus mengalami kekerasan berulang lagi.
Derfi yang saat ini berada di Shelter KBRI Kuala Lumpur sudah tidak sabar untuk pulang, bertemu lagi dengan mama dan keluarganya, setelah sekian lama tak ada kabar berita.
Ia berharap, kali ini, keadilan itu berpihak padanya sehingga ia dapat lebih ringan melangkah melanjutkan hidupnya, meninggalkan semua mimpi buruk yang dialaminya di Malaysia.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023