Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebut bahwa relasi kuasa di dalam budaya patriarki menyebabkan banyak korban terutama perempuan tidak mampu untuk mengadukan dan melaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mereka alami.
"Relasi kuasa di dalam budaya patriarki menyebabkan banyak korban kelompok perempuan tidak mampu melaporkan atau bahkan sekedar melawan tindak kekerasan yang dialami," kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kemen PPPA Eni Widiyanti saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Berdasarkan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2021 menunjukkan bahwa 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan selama hidupnya.
"Lebih spesifik kekerasan yang dilakukan pasangan sebanyak 11,3 persen, yang ini tentu terjadi di dalam rumah tangga. Sedangkan kekerasan yang paling banyak dilakukan oleh pasangan atau suami adalah pembatasan perilaku," kata Eni Widiyanti.
Dikatakannya, meskipun kehadiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) hampir berumur dua dekade, kejadian-kejadian kekerasan dalam rumah tangga masih mewarnai sejumlah pemberitaan di Tanah Air.
Bahkan, jumlahnya jauh meningkat saat terjadi pandemi COVID-19 dengan korban terbanyak adalah kelompok perempuan.
Eni Widiyanti mengatakan faktor budaya merupakan salah satu alasan kunci penyebab KDRT masih terus terjadi.
"Budaya patriarki dan masalah privasi masih melekat sebagai alasan utama KDRT," kata Eni Widiyanti.
Baca juga: UU Penghapusan KDRT kerap hadapi kendala dalam penegakan hukum
Baca juga: Cegah KDRT, KemenPPPA tekankan sosialisasi UU Penghapusan KDRT
Baca juga: KemenPPPA: Budaya patriarki akar masalah kekerasan dalam rumah tangga
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023