Banjarmasin (ANTARA) - Air mengalir tenang di sekitar Muara Kuin. Dari permukaan terlihat air memendarkan sinar lampu dari deretan rumah panggung yang membelakangi Sungai Barito, Sabtu (9/9) pagi.
Jarum panjang jam belum menunjuk angka lima, tetapi kesibukan mulai terlihat di sekitar dermaga. Mesin kapal menyala, jangkar diangkat dan tali pengait dilepaskan, waktunya Tinah menuju ke Pasar Terapung Kuin.
Perajin tanggui (topi khas suku Banjar) itu menjadi teman perjalanan pewarta ANTARA selama 30 menit menumpang di kapal boat. "Sekarang, pedagang di Pasar Terapung Kuin sudah sepi. Mereka sudah pindah ke daratan," katanya saat bertukar obrolan.
Sudah sedekade terakhir Tinah tak lagi mengayuh sampan untuk berjualan tanggui di Pasar Terapung Kuin. Alasannya, pasar sudah ditinggal pembeli, seiring migrasi pedagang ke daratan.
Di usianya yang genap 60 tahun, Tinah masih rutin mengunjungi Pasar Terapung Kuin setiap akhir pekan untuk menitipkan topi yang dia rajut dari daun nipah kepada pedagang lain.
Kali ini, Tinah hanya membawa 10 topi yang dibanderol Rp10 ribu hingga Rp20 ribu. Selain pembeli yang semakin sedikit, kemampuannya menganyam topi pun berkurang sejak sang suami meninggal akibat COVID-19 dua tahun lalu.
Migrasi
"Basirih, basirih, basirih, banyiur, banyiur, wadei apam, paranggi barongko, katupatne ei," teriak seorang pedagang menu sarapan di samping boat.
Suara itu sekaligus menandai ujung perjalanan perahu kami di Pasar Terapung Kuin. Nakhoda pun menyandarkan kapalnya tepat di dermaga yang menjadi lokasi syuting pariwara ikonik dari sebuah stasiun televisi nasional.
Tapi suasana yang tersaji di hadapan mata, nyatanya sudah jauh berbeda dari apa yang dilihat melalui layar kaca di tahun 1994. Jumlah pedagang bersampan yang melintas di antara kapal tongkang pengangkut batu bara pagi itu bisa dihitung jari.
Hasil kebun di pasar tradisional yang dibuka sejak subuh sampai selepas pukul 07.00 WITA itu tak lagi bervariasi, hanya tersedia daun singkong. Begitu pula dengan buah-buahan, hanya ada dua pilihan untuk pembeli, semangka atau pisang, sisanya berupa aneka kudapan, seperti kue, nasi bungkus, dan gorengan. Untuk menemani, tersedia kopi dan teh hangat yang tersaji apik di lambung sampan.
Kabar tentang migrasi pedagang Pasar Terapung Kuin dibenarkan oleh seniman madihin sekaligus tokoh masyarakat setempat Ahmad Sya'rani. Madihin adalah kesenian khas Suku Banjar, Kalimantan Selatan, berupa suguhan pentas monolog oleh satu atau dua orang seniman tradisional yang merangkai syair dan pantun diiringi dengan musik gendang khas Banjar.
Hingga era 90-an, sekumpulan pedagang berperahu masih memenuhi Pasar Terapung Kuin yang membelah wilayah Kecamatan Banjarmasin Utara dan Banjarmasin Barat.
Namun, sejak pembangunan konstruksi Jembatan Barito rampung pada 1998, populasi pedagang mulai rontok ditinggal pembeli.
Jembatan sepanjang 1.082 meter melintasi Sungai Barito selebar 800 meter dan Pulau Bakut selebar 200 meter dibangun dengan konstruksi jalan penghubung. Pengendara hanya butuh waktu tempuh kurang dari 30 menit dari Pasar Terapung Kuin menuju daratan seberang.
Sejak saat itu, berbagai proyek pengerasan lahan gambut bercakar ayam kayu ulin di sekitar bantaran kian masif. Kios-kios dan bangunan minimarket berdiri lengkap dengan layanan online.
Ardi (40) adalah generasi kelima pedagang Pasar Terapung Kuin yang kini memilih sewa kios seharga Rp500 ribu per bulan untuk berdagang sembako.
Walau modal yang dikeluarkan lebih mahal dari pemanfaatan sampan sebagai lapak berjualan di sungai, kios di daratan nyatanya lebih banyak mendatangkan cuan.
"Kalau di bawah (sungai) sepi. Kalau di darat, sehari saya dapat Rp250 ribu," katanya sambil meladeni pembeli yang datang silih berganti.
Praktik baik
Pasar Terapung Kuin menjadi monumen terkokoh Kerajaan Banjar yang berdiri sejak pertengahan abad ke-16. Sultan Suriansyah mendirikan kerajaan di tepi Sungai Kuin dan Barito yang menjadi cikal bakal Kota Banjarmasin.
Sejak itu, aktivitas perdagangan di tepi sungai tumbuh pesat karena posisinya berada di pertemuan beberapa anak sungai dan menjadi pusat pertemuan masyarakat Kuin dengan para pedagang dari Tamban, Anjir, Alalak, dan Berangas.
Besar di lingkungan seniman madihin, membuat jiwa seni Ahmad Sya'rani berkembang. Dia mahir dalam menuangkan kisah kejayaan Banjar ke dalam syair.
Di tengah rutinitasnya memenuhi undangan tampil di berbagai negara seperti Arab Saudi, Malaysia, Brunei Darussalam, hingga Singapura, nyatanya Sya'rani kerap merindukan suasana Pasar Terapung Kuin yang kaya dengan praktik kebaikan.
Misalnya, tidak boleh ada pemaksaan. Proses tawar menawar barang dilakukan secara beradu pantun yang melibatkan dukuh (pedagang berperahu yang menjual hasil produksi rumahan atau dari kebun tetangga) dengan panyembangan (tangan kedua yang membeli dari para dukuh untuk dijual kembali).
Keistimewaan lain dari pasar ini adalah transaksi barter antarpedagang yang dikenal sebagai bapanduk. "Yang dicari adalah transaksi bersih dan syariah melalui proses akad. Tukarlah seadanya dan minta halal dan ridho," katanya.
Muara Sungai Barito tak ubahnya lumbung kehidupan bagi Sya'rani dan keluarga di masa kecil. Bahkan, biaya pendidikan pun bisa didapat dari hasil barter kelapa di Pasar Terapung Kuin.
Menyerah bukanlah pilihan. Pasar Terapung Muara Kuin boleh jadi lenyap ditelan zaman, tapi berbagai praktik kebaikan di dalamnya harus sekuat tenaga dipertahankan.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023