Jakarta (ANTARA News) - Kualitas hasil Pemilu 2014 baik pada pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden sangat bergantung pada sejauh mana kualitas calon legislatif dan calon presiden yang diusung oleh parpol peserta pemilu.
Semakin berkualitas politisi yang ditawarkan parpol kepada pemilih, semakin bermutu pula anggota legislatif maupun presiden yang akan menentukan arah pembangunan bangsa dan negara lima tahun ke depan pasca-Pemilu 2014.
Namun, yang tak kurang pentingnya adalah kualitas pemilih itu sendiri. Dengan kata lain, sejauh mana pemahaman pemilih, dalam hal ini warga negara yang mempunyai hak pilih pada Pemilu 2014, menentukan pilihannya akan ikut menentukan kualitas politisi yang akan menduduki kursi di legislatif maupun di istana kepresidenan kelak.
Urgensi kualitas pemilih tak bisa dielakkan untuk menghasilkan penentu kebijakan negara pasca-Pemilu 2014. Pengalaman pemilihan umum yang demokratis pasca-Reformasi setidaknya diharapkan membuat rakyat lebih matang dalam menentukan pilihan politik mereka pada pemilu 2014.
Mengharapkan seluruh warga negara yang berhak mengikuti Pemilu 2014 memiliki kematangan dan pemahaman yang mendalam untuk memilih wakil rakyat dan presiden pada Pemilu 2014 mungkin tak realistis. Namun, berharap bahwa ada peningkatan kualitas di atara mereka dibanding pada pemilu sebelumnya agaknya lebih realistis.
Seperti problem pada pemilu sebelumnya, isu politik uang mungkin akan menjadi salah satu persoalan bagi para pemilih yang berasal dari kelas ekonomi bawah. Mereka ini umumnya dengan mudah dikelabuhi dengan kedermawanan instan dan penuh hipokrit yang dilakukan politisi yang bermain dengan politik uang.
Tapi ada perkembangan menarik pada Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu yang dimenangkan oleh Jokowi. Sebelum pemilihan berlangsung, para aktivis baik dari lembaga swadaya masyarakat yang netral terhadap para kontestan maupun para kader partai yang berkompetisi saling mengampanyekan gerakan anti-politik uang. Berbagai macam graffiti dan poster tentang kewaspadaan terhadap apa yang disebut sebagai serangan fajar, yakni pemberian uang atau sembako menjelang saat pencoblosan, marak dipasang di berbagai lokasi strategis.
Para pemilih disadarkan bahwa politik uang hanya menciptakan pemenang yang akan tersandera karena semua dana yang digunakan untuk menyogok pemilih harus kembali. Dan salah satu cara untuk mendapatkan kembali uang yang sudah ditebar itu adalah melakukan praktik koruptif dalam masa jabatan sang pemenang.
Pada tingkat nasional, hal serupa bisa dilakukan meskipun tidak bisa dilakukan secara simultan karena kampanye semacam itu juga membutuhkan lebih banyak aktivis dan kader parpol di lingkup nasional. Masyarakat pemilih tentu akan semakin sadar bahwa hanya politisi yang berkompetisi secara jujurlah yang akan menjamin integritas mereka selama menjabat sebagai wakil rakyat atau presiden.
Dalam praktik politik sebelumnya, ada sinyalemen bahwa para konglomerat hitam, pengusaha yang pernah tersangkut skandal finansial berskala massif, berani mendanai kampanye termasuk menyokong praktik politik uang. Namun, setelah politisi yang mereka dukung meraih kemenangan, mereka mendapat konsesi dalam berbagai bentuk yang pada gilirannya merugikan masyarakat banyak.
Masyarakat pemilih perlu mendapatkan pemahaman hal semacam ini baik lewat aktivitas para pegiat lembaga swadaya masyarakat maupun aktivis politik yang berkepentingan pada terciptanya praktik politik yang bersih di Tanah Air. Para mahasiswa yang sedang melakukan praktik kerja lapangan di desa-desa agaknya perlu menyebarluaskan pemahaman pada masyarakat pedesaan bahwa politik uang pada akhirnya melahirkan politisi korup.
Dalam tayangan televisi, acara tayang bincang yang bermisi mendorong terciptanya pemilihan yang bersih dan demokratis pada pemilu 2014 juga bisa diarahkan dengan focus melahirkan pemilih-pemilih yang cerdas berkualitas. Pemilih yang tak terkooptasi oleh jalan politik uang adalah sebuah asset bagi lahirnya wakil rakyat dan presiden yang berkarakter dan berintegritas tinggi.
Jika pemilih pada Pemilu 2014 semakin matang dan cerdas, kekhawatiran akan strategi parpol yang merias wajahnya dengan memasang calon-calon legislatif dari kalangan artis yang wangi dan rupawan tapi tak punya rekam jejak sebagai sosok yang berkarakter peduli pada bangsanya akan terkikis dengan sendirinya.
Dalam pengalaman pemilu legislatif 2004 maupun 2009 memperlihatkan bahwa wajah-wajah artis lebih banyak disukai daripada para dosen maupun professor sekalipun. Ada sejumlah tokoh intelektual yang tergusur oleh artis yang tak jelas riwayat pendidikannya dalam persaingan memperebutkan kursi parlemen pada pemilu legislatif sebelumnya.
Bahkan pada Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat beberapa waktu lalu, seorang kontestan dari kalangan aktivis pejuang gerakan antikorupsi yang terkenal integritasnya bisa tersungkur oleh pesaingnya dari kalangan pesohor dunia hiburan. Tentu ada banyak faktor yang mempengaruhi kekalahan itu. Jadi bukan sekadar kompetisi antara sang pejuang anti korupsi dan sang pesohor yang memang sering berperan sebagai sosok yang layak diteladani dalam film-film yang diperaninya.
Memang, selebriti yang terjun di dunia politik tak mesti dipandang dengan sebelah mata. Bahkan jauh sebelumnya para aktor Holywood bisa dipilih oleh rakyat AS menjadi presiden atau gubernur negara bagian. Yang terpenting, para artis/aktor itu bukan semata dijadikan pajangan dalam etalase politik untuk menghibur pemilih. Pengalaman Orde Baru memperlihatkan kenyataan bahwa artis atau pesohor sering dijadikan penangguk suara meskipun mereka akhirnya tidak benar-benar menjadi wakil rakyat yang memilih mereka.
Pemilih pada pemilu 2014 diharapkan semakin berbobot baik dalam menentukan politisi yang pantas dipilih karena memiliki karakter yang berintegritas tinggi maupun berbobot dalam memahami bahwa politik uang hanya hiburan sesaat yang harus mereka tampik. (*)
Oleh M Sunyoto
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013