Surabaya (ANTARA) - Hari Aksara Internasional atau Hari Melek Huruf Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 September menjadi perenungan bersama untuk memelihara jati diri bangsa, karena aksara merupakan warisan budaya adiluhung dari leluhur.
Bangsa ini memiliki beragam aksara, antara lain Sunda, Bali, Jawa, Kawi,dan lainnya, yang kini sudah diakui dunia.
Seperti Aksara Jawa yang masih ada, tapi diketahui bersama hanya dipakai di tempat-tempat tertentu. Apalagi induknya, yakni Aksara Kawi, yang sudah tidak dipakai sebagai bahasa komunikasi. Keberadaannya malah semakin langka.
Aksara yang ada di Jawa, khususnya Kawi, adalah aksara yang jamak digunakan pada masa antara abad 8 hingga 16 Masehi. Pada masa itu adalah masa di era Kerajaan Medang, Kediri, Kahuripan, Singasari, dan Majapahit.
Bukti-bukti digunakannya Aksara Kawi banyak ditemukan di Jawa Timur, berupa prasasti, baik yang terbuat dari bahan batu, tembaga, maupun daun lontar.
Keberadaan Aksara Kawi ternyata jauh lebih langka dari pada Aksara Jawa. Kawi bisa semakin langka dan dikhawatirkan bisa sirna bila tidak ada upaya pelestarian.
Maka digelarlah Museum Huruf dalam Pekan Dwipa Aksara di Jember, Jawa Timur, yang berlangsung dari 30 Agustus hingga 9 September 2023. Museum Aksara mengetengahkan Aksara Kawi sebagai sebuah isu.
Pekan Aksara tersebut sebagai upaya pelestarian Aksara Kawi sebagai bahasa induk dari aksara-aksara yang berkembang di Jawa dan Bali. Kegiatan itu sekaligus juga memperingati Hari Aksara Internasional.
Hari Melek Aksara tersebut merupakan hari yang diumumkan oleh UNESCO pada 17 November 1965 sebagai peringatan untuk menjaga pentingnya melek huruf bagi setiap manusia, komunitas, dan masyarakat. Saat itu, masih banyak penduduk dunia yang belum mengenal aksara, padahal membaca sangat banyak gunanya bagi kehidupan.
Sejak peringatannya yang pertama kali, budaya literasi terus ditingkatkan. Pemerintah semua negara terus berjuang supaya seluruh rakyatnya dapat membaca. Perjuangan itu masih berlangsung karena sampai saat ini masih ada orang yang buta huruf.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat secara umum ada 3,65 persen penduduk dewasa atau yang berusia 15 tahun ke atas di Indonesia masih buta huruf pada 2022. Angka itu setara dengan sekitar empat dari 100 penduduk dewasa Indonesia mengalami buta huruf pada 2022.
Dalam prosesnya, peringatan hari aksara ini juga untuk menjaga keberlanjutan dari keberadaan aksara yang dimiliki oleh masing-masing negara.
Tema yang diusung pada peringatan Hari Aksara Internasional 2023 adalah "Promoting literacy for a world in transition: Building the foundation for sustainable and peaceful societies".
Di tema itu ada kata kunci sustainablle society atau keberlanjutan masyarakat. Maksudnya adalah keberlanjutan nilai-nilai yang dikandung dalam peradaban masyarakat, yakni bahasa, yang di dalamnya ada baca dan tulis atas aksara yang dimiliki masing-masing negara.
Jawa Timur secara historis dan kultural memiliki ragam aksara dan bahasa. Keterkaitannya dengan upaya melanjutkan nilai-nilai yang dikandung dalam masyarakat, maka perlu pelestarian kekayaan leluhur bangsa ini, yaitu aksara-aksara agar tidak sampai punah.
Jati diri bangsa
Sementara di Kota Surabaya, salah satu komunitas pelestari sejarah dan budaya, "Begandring Soerabaia" menginisiasi peringatan Hari Aksara Internasional 2023, dengan menggelar serangkaian kegiatan literasi budaya.
Kegiatan tersebut, mulai dari diskusi budaya tentang aksara hingga para perwakilan negara sahabat di Surabaya menuliskan satu ucapan "Selamat Hari Aksara Internasional" dalam aksara dan bahasa mereka masing-masing pada kain kanvas.
Kegiatan bertema "Surabaya Membingkai Aksara Dunia" tersebut melibatkan sejumlah pihak, di antaranya Balai Bahasa Jawa Timur, perwakilan lintas negara, di antaranya Jepang dan Jerman. Pelibatan dua negara sahabat tersebut tak lain sebagai upaya bersama untuk melestarikan aksara dunia.
Selain itu, peringatan lintas bangsa ini akan semakin mempertebal jati diri bangsa Indonesia, utamanya mereka yang ada di Jawa Timur. Ketika negara-negara lain, seperti Jepang, Korea, dan Thailand masih memegang teguh aksaranya di era modern, maka Indonesia tentunya harus bangga dengan aksara leluhurnya.
Bahkan, dalam diskusi tentang aksara yang diikuti Begandring Soerabaia, Konsul Jepang, Konsul Jerman, dan Balai Bahasa Jatim, sempat menjadi pembahasan, mengapa aksara Kanji, Hiragana, dan Katakana di Jepang, bisa lestari sampai saat ini.
Ternyata diketahui, aksara di Jepang masih melekat kuat di masyarakatnya karena sejak anak-anak di sekolah wajib belajar dan menulis tiga aksara itu. Bahkan, aksara di koran, televisi, maupun buku di negara itu menggunakan bahasa (aksara) Jepang.
Ada strategi yang dipandang paling efektif untuk memulai, yaitu dengan metode enskripsi, dimana istilah dan kalimat yang sering dipakai umum, tulisannya tidak hanya dengan huruf latin, melainkan juga didampingi tulisan dengan memakai huruf Jawa.
Untuk itu, diusulkan di bawah tulisan papan nama di kantor pemerintah provinsi dan kabupaten kota di Jatim. Pemprov Jatim bisa memulainya, termasuk melalui SK gubernur, yang memerintahkan kepala daerah dan seluruh jajaran untuk melakukan hal serupa.
Membumikan aksara
Dukungan membumikan aksara juga menjadi program dari Balai Bahasa Jawa Timur yang sudah bergerak melestarikan dan melindungi bahasa dan sastra lokal.
Sejauh ini, Balai Bahasa sudah menerbitkan majalah yang di dalamnya ada tiga bahasa dan aksara, yakni Jawa, Madura, dan juga Osing dari Banyuwangi.
Selain itu, pemahaman literasi dilakukan, mulai dari siswa di sekolah hingga keluarga. Melalui aksara menjadi pembelajaran tidak hanya konteks huruf, tapi filosofi dan sejarah nilai luhur yang harus dimulai dari generasi muda.
Bahkan, ada dorongan agar bahasa dan aksara Jawa agar betul-betul ditanamkan kepada siswa, mulai dari semua tingkatan pendidikan.
Di SDN Sulung Surabaya, patut menjadi percontohan karena hingga kini mempertahankan muatan aksara Jawa. Masyarakat juga bisa belajar di sekolah itu dengan dibuka kelas bahasa dan aksara Jawa.
Selain terkait pelestarian budaya, aksara Jawa juga diyakini bisa menunjang kegiatan ekonomi, seperti pembuatan suvernir berupa aksara Jawa. Dengan begitu kerinduan akan potensi kedaerahan akan semakin tumbuh. Apalagi, saat ini lagu-lagu berbahasa Jawa atau kedaeraan sudah mulai menghiasi dunia seni.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah di semua tingkatan untuk melestarikan aksara dan bahasa daerah juga sangat perlu dukungan dari masyarakat untuk ikut peduli dan melestarikan.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023