Jakarta (ANTARA News) - Penyidik Polda Jawa Timur meminta keterangan saksi ahli dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Surabaya, terkait kasus luapan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. "Pemeriksaan saksi dari BMG ini dilakukan karena ada rekomendasi dari saksi ahli lain yang telah diperiksa sebelumnya. Polisi diminta menggali keterangan dari ahli geofisika," kata Kepala Bidang Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Pol Bambang Kuncoko usai upacara HUT Bhayangkara ke 60 di Mabes Polri, Jakarta, Sabtu. Ia mengatakan, keterangan ahli dari BMG itu akan melengkapi alat bukti yang kini telah di tangan penyidik sebelumnya. "Keterangan dari BMG itu masih dianalisa oleh penyidik untuk dikomparasi dengan saksi ahli lain dan dokumen yang ada," katanya. Selain itu, Bambang Kuncoko menyatakan, untuk mempermudah penyidikan, Polda Jawa Timur terus koordinasi dengan kejaksaan setempat untuk menyamakan persepsi adanya tindak pidana dalam kasus itu. Hingga kini, penyidik polri telah membuat berita acara pemeriksaan (BAP) sembilan saksi yang dinilai banyak mengetahui soal kejadian itu. Ia mengatakan, kesembilan saksi itu diantaranya Taufik (Divisi pengeboran PT Lapindo Brantas), Bambang Heru (manager PT Lapindo), Sulaiman (juru bor PT Tiga Musim Mas Jaya), Yuniwati (Humas Lapindo), Imam Agustino (GM Lapindo) dan Bambang Istiadi (pimpinan Lapindo). Selain itu ada Rehenold (supervisi pengeboran PT Medici Citra Nusa), Saifuddin (juru bor PT Tiga Musim), Zubaidi (juru bor PT Tiga Musim). PT Lapindo Brantas adalah kontraktor pelaksana eksplorasi gas di Porong yang berujung pada meluapnya lumpur panas hingga menyebabkan sekitar lima ribu warga mengungsi, ratusan hektare lahan dan permukiman terendam lumpur. Dalam melaksanakan proyek itu, PT Lapindo menyerahkan pekerjaan ke sub kontraktor PT Medici Citra Nusa. PT Medici lalu menyerahkan lagi ke sub kontraktor di empat perusahaan yang salah satunya PT Tiga Musim Mas Jaya. Para tersangka nantinya akan dijerat dengan tiga UU sekaligus yakni KUHP pasal 187 dan 188 tentang pengrusakan, UU No 3 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup dan UU No 11 tahun 1977 tentang Pertambangan. "Selaian itu, penyidik juga mengarahkan kepada pelanggaran Perda yang berlaku di Sidoarjo terutama terkait dengan pemanfaatan kawasan," katanya.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006