Kemampuan kelompok-kelompok ini berkurang secara berarti. Dua-ratus ton amunisi dan senjata telah disita dan pangkalan mereka secara sistematis dihancurkan untuk mengakhiri kebebasan dari hukum yang mereka nikmati."
Bamako (ANTARA News) - Menteri Pertahanan Prancis Jean-Yves Le Drian tiba Kamis di Bamako, ibu kota Mali, pada bagian pertama dari lawatannya ke sejumlah negara untuk mempersiapkan rencana bagi Mali pascaperang, demikian dilaporkan wartawan AFP.
Le Drian, yang disambut oleh Menteri Pertahanan Mali Yamoussa Camara, tidak berkomentar namun kementeriannya mengeluarkan sebuah pernyataan dari Paris yang mengatakan bahwa kunjungan itu merupakan persiapan bagi periode setelah penarikan pasukan Prancis dari negara Afrika tersebut.
Mali meminta bantuan Prancis pada Januari untuk menghentikan gerak maju militan ke arah Bamako, dan sejak itu pasukan Prancis dan Afrika menghalau kelompok-kelompok yang terkait Al Qaida ke kawasan gurun dan pegunungan, dimana mereka melancarkan serangan-serangan gerilya.
"Kemampuan kelompok-kelompok ini berkurang secara berarti. Dua-ratus ton amunisi dan senjata telah disita dan pangkalan mereka secara sistematis dihancurkan untuk mengakhiri kebebasan dari hukum yang mereka nikmati," kata kementerian Prancis itu dalam pernyataan tersebut.
"Pemerintah Mali kini akan mendapatkan lagi kedaulatan atas seluruh wilayahnya," tambahnya.
Le Drian akan mendorong pemerintah Mali membantu rakyatnya "menggapai masa depan bagi negara mereka", kata pernyataan itu.
Dari Mali, Le Drian akan melanjutkan perjalanan ke Niger dan Chad, dua negara Afrika yang berperang bersama pasukan Prancis sejak 11 Januari.
Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.
Prancis akan mengurangi pasukannya yang kini berjumlah 4.500 orang menjadi 1.000, dan resolusi PBB mengizinkan Prancis "menggunakan segala cara yang diperlukan" untuk campur tangan ketika pasukan PBB "berada dalam ancaman serius dan segera".
Pasukan Afrika barat yang sudah berada di Mali akan membentuk kekuatan inti dari Misi Stabilisasi Terpadu Multidimensi PBB, yang dikenal dengan singkatan Prancis MINUSMA.
Pasukan Prancis secara bertahap akan digantikan mulai Juli oleh pasukan penjaga perdamaian berkekuatan 12.600 orang yang bertanggung jawa atas kestabilan wilayah utara Mali. Pembentukan pasukan itu disahkan Kamis oleh Dewan Keamanan PBB.
Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.
Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.
Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.
Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.
Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja. (M014)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013