Dinamika dan kejutan adalah hal biasa dalam politik, apalagi terkait dengan persiapan pemilihan presiden.

Bondowoso (ANTARA) - Perjalanan pemilihan umum di Indonesia, khususnya pada era reformasi ini, tampak seru, bahkan kadang membuat kita cemas, meskipun pada akhirnya berakhir dengan damai.

Pada Pemilihan Presiden 2014, pasangan calon yang berkompetisi adalah Prabowo Subianto bersama Hatta Rajasa dengan Koalisi Merah Putih (KMP). Kala itu, Prabowo-Hatta berhadapan dengan duet Joko Widodo-Jusuf Kalla di bawah naungan Koalisi Indonesia Hebat.

Persaingan kedua pasangan ini sempat menegangkan, bahkan Capres Prabowo Subianto, ketika itu sempat sujud syukur karena mengklaim menang sesuai hasil penghitungan cepat hasil pilpres di internal koalisi.

Momen itu membawa para pendukungnya tidak terima dengan informasi di berbagai berita televisi dan media daring yang menyiarkan kabar bahwa yang perolehan suaranya unggul justru pasangan Jokowi dengan Jusuf Kalla (JK).

Akan tetapi, bangsa ini bukan bangsa pendendam, yang secara erat-erat menggenggam rasa marah kepada pihak yang dianggap tidak sejalan. Koalisi Merah Putih akhirnya harus mengakui kekalahannya dalam kompetisi elektoral itu. Pemerintahan Jokowi-JK kemudian bekerja selama 5 tahun tanpa ada gangguan.

Pada Pemilu 2019, dua kandidat yang 5 tahun sebelumnya berkompetisi, kembali maju sebagai capres, yakni Jokowi (petahana) dan Prabowo Subianto. Ketegangan pada 2014 kembali terkipas.

Pada proses sebelum dan sesudah pelaksanaan pencoblosan pada Pilpres 2019, negeri kita diwarnai dengan polarisasi sebagai imbas dari politik identitas. Kalau itu, Jokowi berpasangan dengan KH Ma'ruf Amin di bawah Koalisi Indonesia Maju, sedangkan Prabowo Subianto berpasangan dengan Sandiaga Uno menggunakan bendera Koalisi Indonesia Adil Makmur.

Meskipun KH Ma'ruf Amin adalah representasi ulama, tuduhan ideologi terlarang dan sejenisnya berseliweran kepada koalisi Jokowi. Bahkan ada tokoh yang menampilkan doa dengan kalimat "komplain" kepada Allah karena khawatir jika pasangan yang didukungnya kalah, maka nasib agama Allah terancam. Sebuah doa yang seolah religius, namun hanya untuk kepentingan politik sesaat.

Lagi-lagi, kita mendapat pembenaran bahwa rakyat Indonesia adalah bangsa pemaaf dan berjiwa besar. Ketegangan yang jika diibaratkan dengan cuaca panas, gerimis sesaat langsung mendinginkan suasana.

Pasangan Jokowi Ma'ruf Amin akhirnya dinyatakan sebagai pemenang dan kemudian dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Selama 5 tahun terakhir, kerukunan seluruh warga kembali terjalin. Hal yang mengejutkan semua pihak dari hasil Pilpres 2019 adalah, bersatunya Prabowo Subianto dalam pemerintahan Jokowi, dengan menjadi Menteri Pertahanan.

Tidak cukup dengan itu, pasangan Prabowo, yakni Sandiaga Uno juga bergabung dengan pemerintah dan dilantik menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf). Suasana menegangkan selama pilpres, nyatanya berakhir damai dan semuanya bekerja untuk Indonesia.

Jika melihat pelaksanaan dua pemilu terakhir, yang dipungkasi dengan bergabungnya dua seteru dalam satu "perahu" pemerintahan untuk Indonesia, kita menjadi optimistis bahwa setiap riak-riak dalam praktik politik kita, yang awalnya mengkhawatirkan, pada akhirnya semua bersatu.

Jika Prabowo dan Sandiaga Uno tidak memiliki jiwa besar, bagi mereka adalah gengsi besar untuk mendukung pemerintahan yang telah mengalahkannya dalam kompetisi pilpres. Demikian juga dengan Jokowi yang juga mengedepankan jiwa besar untuk merangkul "lawan" yang selama 5 tahun sebelumnya mungkin banyak "menyerang" mantan Wali Kota Solo itu.

Pilihan sikap Prabowo dan Jokowi bukan tanpa risiko atau penolakan. Akan tetapi, demi pemerintahan tetap berjalan dengan efektif dan kondusif, semuanya menjadi tidak terlalu berarti. Sejumlah negara, sebagaimana diceritakan Prabowo, mengaku kagum dengan Indonesia karena rival pada pemilu bisa bersatu dalam satu pemerintahan.

Kini, Bangsa Indonesia kembali akan memasuki pertarungan politik untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2024 - 2029. Sesuai jadwal, pilpres yang berbarengan dengan pemilihan anggota legislatif itu akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024.

Suhu hangat terkait para calon yang akan berkompetisi di Pilpres 2024 mulai muncul, khususnya terkait pilihan pada Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin (Ketua Umum PKB) sebagai bakal calon wakil presiden dari Anies Rasyid Baswedan.

Rupanya, dinamika di koalisi yang paling awal mengumumkan bakal calon presiden dan bakal calon wakil presidennya itu, bukan satu-satunya. Sangat mungkin akan diikuti oleh kejutan-kejutan lain dari koalisi kubu pengusung bakal calon presiden Ganjar Pranowo dan kubu koalisi pengusung bacapres Prabowo Subianto.

Presiden Jokowi saat menerima pengurus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengingatkan partai itu agar tidak terburu-buru menentukan langkah dan mengambil keputusan terkait koalisi karena dinamikanya masih sangat tinggi.

Dinamika dan kejutan adalah hal biasa dalam politik, apalagi terkait dengan persiapan pemilihan presiden. Meskipun melihat perjalanan Pilpres 2014 dan 2019 kita menjadi optimistis, sikap bijak saling mengingatkan antarpihak tetap diperlukan untuk menjadikan Indonesia selalu rukun dan damai.

Akhir kompetisi Pilpres 2014 dan 2019 jangan membuat kita lengah dan terlena, apalagi kemudian larut dengan polarisasi tindakan karena perbedaan pilihan capres dan cawapres di 2024.

Sebagaimana diingatkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya bahwa pemilu hanyalah prosedur dari sebuah proses demokrasi. Karena itu, hadapilah pemilu dengan santai dan riang, jangan justru dikonotasikan sebagai jihad fi sabilillah (perang di jalan Allah).

Peringatan agar tidak mengidentikkan pemilu dengan jihad ini juga mengingatkan kita untuk tidak membawa-bawa agama dalam mengekspresikan dukungan kepada calon tertentu. Apalagi dengan menuduh pihak yang tidak kita dukung sebagai kelompok dalam ideologi terlarang, musuh Tuhan, dan lainnya.

Masyarakat juga perlu diingatkan agar tidak memperuncing sikap antagonis terkait calon presiden yang didukung. Mari kita biasakan masuk ke dalam situasi berbeda pilihan dengan sikap santai.

Kalau dalam Pilpres 2024 ada orang atau sekelompok orang menjatuhkan pilihan pada pasangan Anies-Cak Imin, tidak perlu memandang sebagai musuh kepada yang memilih Prabowo dengan pasangannya. Juga jangan merendahkan orang yang menjatuhkan pilihan pada capres Ganjar Pranowo dengan pasangannya.

Demikian juga para pemilih pasangan Ganjar Pranowo dengan pasangannya, tidak perlu merendahkan, apalagi memprovokasi pihak lain agar memusuhi pemilih pasangan Anies dengan Cak Imin serta pasangan Prabowo Subianto dengan pasangannya sebagai kelompok yang layak dimusuhi dan di-pisuhi (dimaki).

Politik identitas dengan menggunakan jargon-jargon agama harus dihindari agar bangsa ini tetap produktif untuk bekerja sesuai bidangnya, sambil terus menyalurkan naluri politiknya untuk mendukung pasangan tertentu.

Rugi besar, kita sebagai pendukung, katakanlah calon pasangan A, dengan mengorbankan jiwa dan perasaan setiap saat, kalau kemudian pasangan A ternyata kalah dan akhirnya bergabung dengan pasangan B yang menang dalam pilpres. Karena itu, hadapi pilpres dengan sikap biasa-biasa saja dan penuh riang.

Pilihan untuk mendukung pasangan tertentu jangan sampai mengganggu tradisi sesrawungan (bergaul akrab dengan tetangga), meskipun si tetangga berbeda pilihan. Kalau sewaktu-waktu kita sakit dan butuh pertolongan darurat, tetangga itulah yang akan datang paling awal untuk membantu dan menunjukkan kepedulian, bukan tokoh idola politik yang kita dukung.


Copyright © ANTARA 2023