Balikpapan (ANTARA News) - Menjelang pukul tiga siang, dengung gong dan gendang adat mengakhiri rangkaian ritual Lom Plai Orang Wehea di Kampung Nehas Liah Bing, 450 km timur laut Balikpapan, Kalimantan Timur.
"Kami mulai dengan 'Melhaq Pangsehmei' pada 25 Februari silam, lalu pada hari yang sama Ngesea Egung," kata Ledjie Taq, 60 tahun, Kepala Adat Wehea di rumahnya yang lapang di tepi Sungai Wehea, Muara Wahau, Kutai Timur.
"Melhaq Pangsehmei" digelar di ladang kepala adat adalah upacara penghormatan yang ditujukan untuk Long Diang Yung.
Mitologi Long Diang Yung mirip dengan penuturan tentang Luing Ni Ayang di suku-suku pedalaman Kutai Barat, atau cerita tentang Dewi Sri bagi petani di Jawa.
Long Diang Yung merelakan hidupnya ditukar dengan tanaman padi yang buahnya menjadi makanan Orang Wehea.
Sebagai ungkapan syukur dan terimakasih, Orang Wehea berjanji untuk selalu melangsungkan selalu rangkaian upacara adat yang kemudian disebut Lom Plai.
"Lom Plai itu terdiri dari banyak sekali ritual, yang seluruhnya adalah penghormatan dan ungkapan syukur kami kepada Yang Maha Kuasa atas segala nikmat yang sudah diturunkannya, terutama nikmat atas panen padi yang baik dan melimpah. Juga harapan agar musim tanam berikutnya juga sebaik sekarang atau lebih lagi," tutur Ledjie.
"Ngesea Egung" adalah pemukulan gong tanda Lom Plai resmi dimulai.
Rangkaian upacara tahun ini mencapai puncaknya pada Selasa 23 April, dimulai dinihari dengan "Embob Jengea", yaitu ritual memasak lemang dan beang bit, dan diakhiri dengan tarian Hudoq di lapangan sepakbola desa.
Lemang adalah nasi ketan yang dimasak khusus di dalam bumbung bambu. Beang bit, adalah makanan dari gula merah dan santan kelapa.
"Semacam dodol. Banyak mengandung energi karena manis," senyum Emiliani Dea, putri bungsu Ledjie Taq.
Sepanjang pagi, semua orang saling mengundang untuk menikmati makan lemang dan beang bit di rumah. Turis dan tamu disambut ramah.
Menjelang siang, "Embos Min" dimulai. Ini upacara bersih desa, yang bertujuan membuang segala kesialan dan kejahatan yang ada di kampung.
Sejumlah perempuan dewasa berbaris, lalu berjalan mengelilingi desa dari hilir kampung ke arah hulu dan kemudian kembali ke hilir kampung. Mereka mengenakan kain yang dipakai sebagai kemben dan topi merah dari anyaman rotan.
Emiliani, bersama kakaknya Martina Leyun, dan ibunya Valensia Lenyie, istri Ledjie Taq, menjadi bagian dari iring-iringan sakral ini.
Kulit punggung mereka yang kuning langsat tampak kontras dengan kain merah yang mereka kenakan.
Saat rombongan ini berjalan, tak boleh seorang pun, bahkan hewan sekalipun diizinkan melintas di depan rombongan.
Dengan Sungai Wehea yang sedang meluap dan membuat banjir jalan utama kampung, perlu lebih kurang satu jam bagi Emiliani dan rombongannya untuk mengelilingi kampung.
Sambil menunggu "Embos Min" selesai, setidaknya tiga acara dijalankan di Sungai Wahau.
Setelah lomba balap perahu atau lomba dayung, Seksiang dimainkan. Inilah laga perang-perangan di Sungai Wehea.
Puluhan perahu berisi lima sampai tujuh prajurit Wehea berpakaian khas warna-warni meluncur dari arah hulu ke hilir.
Mereka saling membidik dengan tombak dari rumput gajah atau sumpit dengan anak sumpit terbuat dari tanah liat lengkap dengan teriakan perang, yang juga disahuti oleh para penonton di tepi sungai.
"Dalam perang-perangan ini, orang yang berdekatan, membelakangi, maupun tercebur ke sungai tidak boleh ditombak," kata Ledjie Taq yang baru saja pensiun dari tugasnya sebagai guru SD di kampung itu.
Tibalah kemudian acara yang paling ditunggu anak-anak muda. Semua boleh saling menyiram air dan mengoleskan jelaga.
Di setiap sudut kampung sejumlah remaja terlihat membawa ember dan gayung dan panci atau wajan yang pantatnya hitam penuh jelaga.
Kepada siapa pun yang mereka temui, setelah diolesi jelaga di pipi, segeralah si orang yang beruntung basah kuyup diguyur air.
"Tahun ini banjir, acara siram-siramannya jadi lebih asyik," kata Mita, 16 tahun, yang bersama seorang temannya membawa wajan yang sudah hampir bersih pantatnya dari jelaga setelah dicorengkan ke siapa saja yang ditemuinya di jalan.
Tak ada yang boleh lari dan menghindar dari acara ini. Sebab itu, gelak tawa dan debur air terdengar di mana. Suasana pesta yang meriah pun mewarnai seluruh kampung sampai Ledjie Taq memimpin penabuhan gong tanda menutup seluruh ritual secara resmi.
"Kalau tari Hudoq bukan lagi ritual, tapi tetap bagian dari rangkaian Lom Plai," sebutnya.
Karena itu, di sore yang mendung di Lapangan Pemuda, Ledjie tak lagi memimpin acara para Hudoq menari.
Meski begitu, bagi para fotografer, tarian Hudoq, tarian jin air, jin di atas tanah, dan jin dari kayangan itu salah satu yang paling ditunggu.
Denny dan rombongan kawan-kawannya dari Sangatta Fotografer Club tak ubahnya Hudoq sendiri dengan gaya mereka mengabadikan tarian mistis para penari bertopeng raksasa dan burung enggang dengan kostum pekat dari daun pisang itu.
Tari Hudoq dimulai dengan "Mekean Hedoq" atau menjamu Hudoq, yang bertujuan agar masyarakat dilindungi dari penyakit, diberi kesuburan, berkah dan kebaikan.
Kemudian dilanjutkan dengan "Enluai Hedoq" atau doa kepada Hedoq yang dinyanyikan supaya Hedoq membawa semangat padi untuk kesuburan tanaman tahun depan, sehingga membawa kemakmuran, kebaikan, dan keselamatan bagi masyarakat.
Penutupnya adalah tarian Hudoq yang dipimpin 10 penari bertopeng, dan diikuti puluhan lain berbagai usia. Anak-anak mengikutinya dengan antusias sementara remaja agak malu-malu hingga hujan deras sore itu membubarkannya.
"Saya optimistis dengan anak-anak ini, juga dengan masa depan yang lebih baik. Walaupun belum banyak tapi orang tua mereka mulai sadar betapa pentingnya pendidikan, sepenting kami menjaga adat ini," kata Ledjie Taq yang merupakan kepala adat peraih penghargaan Kalpataru sebagai pelestari lingkungan hidup di tahun 2009.
Oleh Novi Abdi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013