Kami juga mewajibkan kepada seluruh perusahaan yang memiliki titik-titik kritis, termasuk yang memiliki pembangkit energi sendiri, untuk menambahkan instrumen yang bisa mengurangi emisiJakarta (ANTARA) -
Perusahaan melaporkan antara lain emisi yang dikeluarkan, boiler yang digunakan, limbah B3 dan non-B3, serta alat pengendali emisi yang digunakan.
“Kami juga mewajibkan kepada seluruh perusahaan yang memiliki titik-titik kritis, termasuk yang memiliki pembangkit energi sendiri, untuk menambahkan instrumen yang bisa mengurangi emisi,” kata Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kemenperin, Eko S. A. Cahyanto dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.
“Kami mengharapkan agar penerapan instrumen pengurang emisi ini bisa membantu kondisi udara dan kualitasnya bisa lebih baik lagi,” kata Eko.
Kemenperin telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Menteri Perindustrian Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaporan Pengendalian Emisi Gas Buang Sektor Industri di Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten.
Dalam menjalankan tugasnya, tim inspeksi telah melakukan langkah-langkah identifikasi dan perencanaan terkait sistem inspeksi, mulai dari pendataan, monitoring, hingga kunjungan ke lapangan.
“Beberapa kegiatan usaha yang menjadi sorotan telah dipantau, dan satu perusahaan industri yang diduga mencemari lingkungan telah diperiksa secara langsung. Hasilnya, emisi gas buang perusahaan tersebut jauh di bawah ambang batas, meskipun ada permasalahan administratif yang perlu diselesaikan,” ungkapnya.
Adapun hasil pemantauan yang telah dilakukan oleh tim inspeksi pada Senin (28/8) di perusahaan industri kelompok industri bahan galian non logam dan industri baja di wilayah Jabodetabek menunjukkan bahwa perusahaan telah mematuhi semua peraturan perundang-undangan terkait kegiatan mereka yang berdampak pada lingkungan.
Selain itu, hasil pengukuran menunjukkan bahwa emisi mereka tetap berada di bawah ambang batas.
Sementara itu, Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif mengatakan pada Sabtu (2/9) hingga pukul 11.00 WIB, kualitas udara di Jabodetabek dilaporkan sebagai yang terburuk bila dibanding dengan kondisi sepanjang Agustus lalu.
Situs IQAir.com menunjukkan indeks kualitas udara wilayah Jakarta sebesar 168 (tidak sehat) dan konsentrasi Particulate Matter (PM) 2.5 mencapai 19,3 kali nilai panduan kualitas udara tahunan dari World Health Organization (WHO).
Kondisi ini terjadi pada pagi akhir pekan, di saat mobilitas masyarakat menggunakan kendaraan bermotor jauh berkurang dibandingkan pada hari kerja.
Menurut Febri, kualitas udara pada akhir pekan ini menunjukkan level emisi yang tinggi meski jumlah kendaraan bermotor yang beroperasi lebih sedikit.
“Hal ini menandakan perlunya dikaji lebih dalam apakah kendaraan bermotor merupakan penyumbang terbesar polusi udara. Diperkirakan ada faktor lain di luar transportasi yang menyebabkan kualitas udara di akhir pekan cukup buruk, sama dengan di hari kerja,” kata Febri.
Padahal, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pencemaran udara terbesar berasal dari kendaraan yakni 44 persen, kemudian 34 persen sebesar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dan dari rumah tangga dan sumber lainnya.
Baca juga: Kemenperin wajibkan industri laporkan pengendalian emisi setiap Kamis
Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2023