Jakarta (ANTARA News) - DPR menyatakan bahwa seleksi calon hakim agung (CHA) melalui fit and proper test yang dilakukan DPR merupakan wewenang lembaga legislatif yang tertuang dalam Pasal 24 UUD 1945.
Hal ini diungkapkan Anggota Komisi III Syarifudin Suding saat mewakili DPR saat menjawab permohonan pengujian Pasal 8 Ayat (2), ayat (3), ayat (4) serta ayat (5) Undang-undang (UU) Mahkamah Agung (MA) dan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (1) UU Komisi Yudisial (KY) di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa.
Menurut dia, DPR tidak dapat serta merta memberikan persetujuan tanpa mengetahui kapabilitas seorang calon hakim agung.
"Terhadap calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial tidak serta merta harus disetujui oleh DPR. Harus ada proses penilaian, harus ada proses pemilihan untuk dapat disetujui atau tidak dapat disetujui oleh DPR," kata anggota DPR dari Fraksi Hanura ini.
Suding mengatakan, fit and proper test harus dijalankan DPR untuk menguji sejauhmana kapabilitas seseorang sebelum memangku jabatan publik termasuk hakim agung.
"Kewenangan DPR dalam rangka diusulkan dan menyetujui calon hakim agung. Hampir semua jabatan publik diperiksa DPR," katanya.
Suding juga mengatakan pelaksanaan fit and proper test untuk calon hakim agung tidak dapat dikatakan bertentangan dengan konstitusi.
"DPR memberikan persetujuan melalui seleksi. Ini pun untuk mengetahui kapabilitas seseorang," kata Suding.
Ketentuan pemilihan hakim agung yang diatur dalam UU MA dan UU KY ini diajukan oleh sejumlah LBH dan LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Peradilan Profesional.
Dalam permohonannya, mereka meminta MK membatalkan Pasal 8 ayat 2,3,4 dan 5 UU No 3/2009 tentang MA. Selain itu, mereka juga meminta supaya MK membatalkan Pasal 18 ayat 4 dan Pasal 19 ayat 1 UU No 18/2001 tentang KY.
Pengajuan uji materi ini dilakukan supaya DPR tidak perlu ikut campur dalam pemilihan calon hakim agung. Pada pokoknya, pasal-pasal yang diuji tersebut menyatakan kewenangan DPR dalam melakukan pemilihan hakim agung.
Menurut pemohon, akibat adanya tes dari Komisi III DPR yang tidak semuanya memiliki latar belakang ilmu hukum, maka penilaian calon hakim agung tidak jelas tolak ukurnya.
Ketentuan seleksi hakim agung ini juga diuji oleh tiga orang peserta seleksi calon hakim agung yang tidak lolos, yakni Made Dharma Weda, RM Panggabean, dan Laksanto Utomo.
Mereka menguji kewenangan DPR memilih hakim agung yang termaktub dalam Pasal 8 Ayat (2), ayat (3), ayat (4) serta ayat (5) Undang-undang (UU) Mahkamah Agung (MA) dan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (1) UU KY.
Pemohon menilai pemberlakuan pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, mereka juga menilai DPR justru mengintervensi proses seleksi hakim agung dengan menjalankan fit and proper test.
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013