Stockholm (ANTARA) - Angka kebangkrutan di Swedia mencapai tingkat tertinggi dalam satu dekade terakhir, demikian statistik yang dirilis di Stockholm pada Jumat (1/9).
Hampir 5.500 bisnis mengalami kebangkrutan selama periode Januari-Agustus 2023, naik 35 persen secara tahunan (year on year/yoy), ungkap lembaga referensi bisnis dan kredit UC dalam sebuah siaran pers.
Kebangkrutan tercatat di semua sektor bisnis, dengan angka kebangkrutan meningkat 49 persen di antara perusahaan-perusahaan yang menjual dan melayani kendaraan bermotor; 40 persen di sektor transportasi; dan 39 persen di sektor retail, hotel, dan restoran.
UC menyebut, bangunan dan konstruksi merupakan sektor dengan angka kebangkrutan tertinggi, yakni lebih dari 1.000, atau melonjak 35 persen (yoy).
Pada Agustus, angka kebangkrutan di sektor bangunan dan konstruksi semakin meningkat, yaitu sebesar 48 persen (yoy).
Kemerosotan di sektor bangunan dan konstruksi tersebut terjadi setelah bank sentral Swedia, Riksbank, menaikkan suku bunga acuan menjadi 3,75 persen setelah mempertahankannya di level nol atau di bawah nol selama lebih dari tujuh tahun, yang berdampak pada pasar perumahan.
Namun, ada faktor lain di balik banyaknya kebangkrutan di sektor bangunan dan konstruksi, kata Johanna Blome, seorang ekonom di UC.
Tren ini "mengindikasikan krisis yang lebih dalam, yang mungkin juga dipicu oleh situasi kritis mata uang krona Swedia (yang lemah) dan bahwa tenaga kerja asing yang menjadi tumpuan industri ini sekarang memilih untuk tidak bekerja di perusahaan-perusahaan Swedia," ujar Blome.
Namun, bencana ekonomi Swedia lebih buruk daripada yang ditunjukkan oleh statistik kebangkrutan, kata Blome.
"Gambaran suram tentang kewirausahaan di Swedia diperkuat oleh jumlah bisnis yang baru dimulai di beberapa industri besar, yang (juga) merupakan yang terendah dalam 10 tahun terakhir," kata Blome.
Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2023