...28 orang siswa tidak ikut UN karena menikah dan kebanyakan terancam Drop Out (DO)
Mukomuko (ANTARA News) - Sejumlah siswa SMP/sederajat di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, yang tidak mengikuti Ujian Nasional (UN) hari pertama dan kedua di daerah itu tetap menolak mengikuti ujian pada berikutnya, meski telah diajak oleh pihak sekolah.
"Pihak sekolah telah datang ke rumah untuk mengajak siswa itu mengikuti Ujian Nasional, namun yang bersangkutan menolak," kata Ketua Ujian Nasional Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Mukomuko, Apani, di Mukomuko, Selasa.
Apani yang juga Kabid Pendidikan Sekolah Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat mengaku instansinya telah mengajak 28 orang siswa yang tidak ikut UN di daerah itu agar ikut ujian.
Ia mengatakan, salah satu siswa SMP menolak diajak mengikuti UN pada hari berikutnya karena ada persoalan hukum yang tengah dihadapi oleh keluarganya.
"Memang ayahnya yang tersandung kasus hukum, sehingga imbasnya terhadap anaknya, namun tidak perlu kita terlalu jauh mengetahui persoalan yang dihadapi oleh keluarga itu," tambahnya.
Sementara itu, ia menyebutkan, sebanyak 28 orang siswa SMP sederajat di daerah itu yang tidak mengikuti UN hari pertama dan kedua dengan alasan menikah dan mayoritas "Drop Out" atau DO.
"Kalau laporan dari unit pelaksana teknis dinas (UPTD) 28 orang siswa tidak ikut UN karena menikah dan kebanyakan terancam Drop Out (DO)," tambahnya.
Ia menyebutkan, siswa yang tidak ikut UN itu tersebar di 15 SMP dengan jumlah 19 orang dan sembilan orang siswa di lima MTs.
Sedangkan rincian siswa yang tidak ikut UN itu adalah: satu orang di SMP 2, dua orang SMP 5, satu orang di SMP 6, satu di SMP 7, satu di SMP 8, satu di SMP 9, satu di SMP 10, satu di SMP 12, satu di SMP 13, satu di SMP 14, satu di SMP 15, satu di SMP 16, satu di SMP 21, satu di SMP 21, satu SMP 22, dan satu di SMP 25.
Kemudian, satu orang di MTs Kecamatan Ipuh, dua orang di MTs Desa Bumi Mulya, tiga orang di MTs Darul Amal, dua orang di MTs Darul Hikmah, satu di MTs Kecamatan Lubuk Pinang.
Pewarta: Ferri Arianto
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013
Keuntungan dari usulan saya tersebut menurut hipotesis sy antara lain, anggaran pemerintah tidak sebesar dan semubajir saat ini, setiap pelajar akan mempunyai ketenangan bathin selama belajar, baik saat persiapan maupun saat pelaksanaan ujian. Para pelajar akan mengetahui sejak awal dan akan memiliki rasa tanggungjawab atas kemampuan dirinya dihadapkan pada persaingan untuk maju kejenjang pendidikan selanjutnya. Kekacauan birokrasi dan kekacauan regulasi tidak akan terjadi, karena terkelola secara matang oleh tiap sekolah masing-masing, effort kerja penyelengara ujian tidak akan seberat saat ini, yang banyak melibatkan unsur-unsur lain di luar sekolah (Kepolisian, Jasa transportasi angkutan bahan ujian dari pusat ke daerah, dll) yang justru membuat suasana pelaksanaan ujian menjadi tidak kondusif, misalkan di sekolah seperti dipotensikan terjadi huru-hara, sehingga harus disiagakan sejumlah polisi bersenjata, dsb. Keuntungan lain, penyimpangan-penyimpangan oleh oknum sekolah, oknum pemerintah pusat/daerah terkait kebocoran soal akan tereliminir, paling tidak bila terjadipun sangat terlokasir di lingkungan sekolah dimana oknum tsb berada dan mudah untuk ditelusuri pelakunya. Kinerja sebagai guru/pendidik akan sangat termotivasi untuk memberikan yang terbaik demi keberhasilan anak didik dan nama baik sekolah dimana ybs bertugas, karena visi dan misi mereka adalah akan bermuara kepada terwujudnya kemampuan anak didiknya untuk siap menghadapi persaingan dalam menempuh jenjang pendidikan selanjutnya dengan segala daya upaya para pendidik dalam mentransfer ilmu ke anak didiknya. Kondisi tersebut secara langsung bahwa pragmatisme tujuan pendidikan disekolah itu akan hilang dengan sendirinya, karena proses pendidikan itulah yang diutamakan bukan masalah bagaimana nilai itu bisa direkayasa sedemikian rupa agar terkesan baik, hal ini sesuai dengan hipotesa umum bahwa proses pendidikan yang baik akan linier dengan kualitas hasil didik. Semua ini diperlukan kesepakatan nasional terutama di level para pendidik/guru-guru termasuk para orang tua pelajar, yang dimotori pemerintah tentunya.
Kerugian