UN itu berstandar nasional, tetapi lembar soalnya fotokopi, waktunya tidak serempak, ada yang ditunda sampai seminggu, dan kemungkinan kebocoran soal tinggi, sehingga tingkat keabsahannya diragukan."
Yogyakarta (ANTARA News) - Ujian kelulusan siswa sebaiknya dikembalikan ke sekolah, karena pelaksanaan ujian nasional setiap tahun mengalami berbagai masalah, kata pakar pendidikan dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Hujair AH Sanaky.
"Kebijakan itu lebih bisa mengukur kompetensi lulusan sekolah. Namun, pelaksanaan ujian sekolah harus dengan pengawasan yang tersistem dan terstandar, misalnya per-provinsi atau kabupaten/kota," katanya di Yogyakarta, Senin.
Hal itu, kata dia, perlu dilakukan karena pelaksanaan ujian nasional (UN) lebih banyak mengandung mudharat daripada maslahat, baik dari aspek finansial, efektivitas maupun efisiensi.
Menurut dia, sekarang perlu dipikirkan apa untungnya melaksanakan UN yang setiap tahun semakin ribet, dan selalu kedodoran saat persiapan dan pelaksanaannya.
"Beberapa negara maju seperti Finlandia, Amerika Serikat, Jerman, Kanada, dan Australia tidak menerapkan UN dalam sistem pendidikan mereka, kecuali tes untuk melanjutkan ke tingkat lebih tinggi, misalnya universitas," katanya.
Ia mengatakan karut marut pelaksanaan UN 2013 membuat banyak pemerhati pendidikan meragukan keabsahan hasil ujian. Hal itu tidak lepas dari banyaknya prosedur standar yang dilanggar, mulai dari pelaksanaan yang tidak serempak, naskah soal dan lembar jawaban yang difotokopi hingga lembar jawaban yang mudah sobek.
"UN itu berstandar nasional, tetapi lembar soalnya fotokopi, waktunya tidak serempak, ada yang ditunda sampai seminggu, dan kemungkinan kebocoran soal tinggi, sehingga tingkat keabsahannya diragukan," katanya.
Menurut dia, masalah kondisi fisik dan psikologis siswa akibat kekacauan UN 2013 juga memicu timbulnya hasil ujian yang tidak representatif. Secara fisik para siswa lelah menunggu ujian yang tidak menentu, dan secara psikologis mereka khawatir dengan kesiapan mereka.
"Mungkin cuplikan berita di televisi cukup menggambarkan kondisi siswa bagaimana mereka terlihat stres dan depresi. Melihat hal itu saya katakan hasil UN 2013 tidak bisa menggambarkan kompetensi mereka seutuhnya," katanya.
Ia mengatakan, berbagai alasan yang diungkapkan panitia penyelenggara kurang dapat diterima karena ujian seperti itu sudah rutin diselenggarakan setiap tahun dalam beberapa dekade terakhir. Alasan itu tidak profesional karena semestinya sudah ada evaluasi setiap tahun.
Komponen muatan soal ujian, menurut dia, tidak proporsional di mana 60 persen ujian negara dan 40 persen ujian sekolah. Persentase itu seharusnya dibalik, bahkan untuk ujian negara bisa 30 persen saja karena hanya mengukur beberapa mata pelajaran.
"Selama tiga tahun mereka mengenyam pendidikan lokal di sekolah, tetapi ujian negara melebihi kapasitas ujian sekolah," katanya. (B015/M008)
Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013