Beijing, (ANTARA/PRNewswire)- Serial dokumenter "The Art Beat" Musim II ditayangkan secara perdana di saluran televisi CGTN dan beragam platform media sosial pada 21 Agustus lalu. Film dokumenter yang terdiri atas delapan episode ini mengangkat kehidupan dan karya seniman kontemporer terkemuka di Tiongkok. Diproduksi dalam berbagai bahasa, "The Art Beat" mengungkap bagaimana karya seniman tersebut menyampaikan kisah Tiongkok dari perspektif kebudayaan.


Dengan mengulas filosofi pribadi, serta lukisan, pertunjukan, dan karya tulis orisinal seniman tersebut, serial dokumenter ini mengungkap, didukung oleh inspirasi dan kekuatan yang berasal dari tradisi Tiongkok, kiprah setiap seniman ketika berinovasi, serta membuat karya seninya menjadi sebuah eksplorasi baru.


Seniman ternama Wu Yueshi meyakini, esensi seni lukis Tiongkok terletak pada aspek spiritual. Menurutnya, seorang seniman harus mendalami hal tersebut agar menguasai ekspresi, serta secara bertahap memperoleh inspirasi dari dunia seni Tiongkok yang bermakna luas.


"Membaca lalu melukis" merupakan moto Liu Wanming, seorang seniman yang melukis alam dalam teknik lukis tradisional Tiongkok. Kegemaran membaca, menurut Liu Wanming, membuatnya mampu menghadirkan dimensi lain dari pesona zaman kuno pada lukisan alam di kota asalnya.


Sebagai seorang seniman yang terus berinovasi, Shi Qi mengemukakan konsep "Three Forms in One". Dualitas dari representasi dan abstraksi, menurutnya, bukan sesuatu yang bersifat utuh. Sebaliknya, tiga hal, yakni representasi, impresi, dan abstraksi, menawarkan gambaran lengkap yang mendefinisikan kehidupan dan kreasi artistik.


"Seni adalah gaya hidup yang membuat saya bahagia," ujar He Jialin, seorang maestro lukis yang meminati banyak bidang seni. Dia meyakini, patriotisme dapat dibangun lewat karyanya, serta mempromosikan budaya tradisional Tiongkok. Dalam beberapa tahun terakhir, dia telah mengunjungi banyak desa kuno di Tiongkok, serta bertekad melestarikan warisan budaya yang kian luntur di tengah komunitas tersebut.


Karier penari balet Feng Ying juga mencakup semangat yang tak kenal lelah untuk mencapai keunggulan dan ekspresi artistik. Dengan kegigihan dan ketekunan, dia berhasil mengatasi berbagai kendala dan mencapai puncak profesinya. Kini, sebagai Direktur National Ballet of China, dia semakin berkomitmen dalam berkarya.


"Audiens harus terpaku pada Anda, dan benar-benar mendengarkan setiap kata-kata Anda," kata Seniman pingshu Tian Lianyuan. Di atas panggung, dia hanya memakai tiga benda yang dapat ditemui sehari-hari sebagai alat bantu ketika menyampaikan cerita—sebuah kipas, balok kayu, dan sapu tangan. Namun, dia mampu membangkitkan "kisah tentang kehidupan, drama historis" yang membawa audiens menuju sejarah ribuan tahun dan lanskap luas yang dihuni karakter menarik.


Sebagai pemenang termuda "Mao Dun Literature Prize", Alai mengaku bahwa dirinya ditakdirkan untuk menulis. Sebagai seorang penulis, dia gemar menghadirkan momen kegembiraan, kebingungan, dan penderitaan tanpa menghilangkan semangat berkontemplasi. "Manusia menjadi titik awal sekaligus destinasi," jelasnya.


"Memakai kuas lebar dan blok tinta besar untuk membuat efek tiga dimensi pada kertas" telah menjadi pendekatan Zhou Jingxin. Pada 1995, dia menggelar debut sederet lukisan dengan gaya terbaru: "Ink Sculpture". Dia sangat optimis, teknik lukis tradisional China sejalan dengan konsep tiga dimensi.



Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2023