Mexico City (ANTARA) - Mahkamah Agung Meksiko pada Rabu (30/8) melegalkan aborsi di Aguascalientes, demikian diungkapkan kelompok-kelompok pembela hak asasi perempuan yang mengajukan gugatan tersebut.

Berdasarkan putusan MA itu, Aguascalientes menjadi negara bagian ke-12 di Meksiko yang mencabut hukuman pidana atas pengguguran kandungan.

Meski Mahkamah Agung Meksiko secara bulat sudah menyatakan bahwa aborsi bukanlah tindakan melawan hukum pada 2021, sebagian besar dari total 32 negara bagian di negara Amerika Latin itu belum mengubah perda mereka.

Kelompok GIRE menyatakan bahwa pihaknya mengajukan gugatan sejak awal 2022 bersama empat kelompok lainnya pembela hak asasi manusia, sebagai bagian dari strategi nasional untuk menghapus diskriminasi terhadap tindakan aborsi di Meksiko.

"Pengadilan memutuskan bahwa aborsi yang dilakukan secara sukarela tidak lagi dianggap sebagai kejahatan di seluruh negara bagian itu," kata GIRE melalui pernyataan.

Kelompok pembela hak perempuan itu menambahkan bahwa sekarang Aguascalientes harus menyediakan layanan untuk aborsi.

Sementara itu, kelompok keagamaan ConParticipation melalui unggahan di X --sebelumnya disebut Twitter-- menyayangkan keputusan tersebut yang dianggapnya menunjukkan "kekerasan dan diskriminasi" menjelang kelahiran.

Fondo Maria, kelompok pembela hak asasi perempuan yang bermarkas di Mexico City, menyatakan bahwa Mahkamah Agung mendukung otonomi dan hak untuk memilih bagi wanita dan mereka yang memiliki rahim.

Banyak perempuan dan kelompok HAM mengunggah lambang hati warna hijau di media sosial yang melambangkan Gelombang Hijau, gerakan sosial bagi hak reproduksi, yang melanda Amerika Latin sejak awal abad ini.

Gerakan hak asasi perempuan tersebut dipicu sebuah kasus yang menjadi perhatian publik di seluruh dunia, yaitu ketika seorang anak perempuan berusia 11 tahun di Argentina dipaksa untuk tetap melahirkan pada 2019 setelah diperkosa.

Anak perempuan itu dipaksa tetap melahirkan meskipun ia sebelumnya memohon untuk melakukan aborsi.

Pada kasus lainnya awal Agustus lalu, seorang anak gadis korban perkosaan yang juga berusia 11 tahun di Peru, ditolak rumah sakit saat saat kandungannya berusia 18 minggu.

Penolakan itu memicu kemarahan kalangan kelompok pembela HAM dan membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa ikut campur dengan mengimbau pemerintah agar segera turun tangan.

Sebagian negara-negara Amerika Latin dan Karibia mengizinkan aborsi dalam kasus perkosaan atau jika nyawa sang ibu terancam, tapi prosedur yang panjang dan berbelit membuat upaya aborsi akhirnya sulit dilakukan.


Sumber: Reuters

Baca juga: Korea Selatan putuskan aborsi tidak melanggar hukum

Baca juga: Dokter: Aborsi ilegal bisa akibatkan pembusukan di dalam tubuh

Kebocoran aborsi mengekspos Mahkamah Agung AS dalam kekacauan

Penerjemah: Atman Ahdiat
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2023