"Bila sampai akhir tahun ini tanda-tanda turun hujan masih jauh, maka saya lebih memilih untuk mengganti tanaman yang tadinya padi menjadi pajale," ujarnya dalam bincang sains yang dipantau di Jakarta, Rabu.
Eddy menuturkan tanaman pajale cukup kuat terhadap kondisi kering akibat berkurangnya pasokan air.
BRIN juga mengkaji penanaman padi pada tanah gambut agar mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Namun, opsi itu masih harus diperhitungkan dari berbagai aspek.
Dia memprediksi kondisi El Nino yang memicu kemarau panjang selama hampir setahun bakal meningkatkan kuota impor pangan Indonesia.
"El Nino mulai bulan Mei 2023 dan mencapai puncak pada akhir November atau awal Desember. Kalau itu merupakan siklus yang sempurna, maka kembali normal atau netral pada akhir Maret, April, dan Mei 2024. Jadi, sekitar hampir satu tahun," kata Eddy.
Dia mengungkap hanya ada tiga fenomena yang dapat menghentikan dampak El Nino, yaitu Monsun Asia, Indian Ocean Dipole (IOD), dan Madden–Julian Oscillation (MJO) di Samudera Hindia.
Bila pembentukan ketiga fenomena itu berbeda dari segi waktu, maka El Nino akan tetap eksis dan memperparah kekeringan di banyak daerah.
Lebih lanjut Eddy menyarankan pemerintah untuk memperhatikan dan mewaspadai kawasan-kawasan sentral pangan yang bertipe curah hujan monsunal dari mulai Jakarta, Semarang, Pekalongan, Pemalang, hingga Surabaya.
Selain itu, waduk-waduk yang menjadi tempat penampungan air juga harus dipantau karena beberapa bendungan sudah menurun debit airnya, seperti di Bendungan Katulampa yang berada di Kota Bogor, Jawa Barat; dan beberapa bendungan lainnya di Jawa Tengah.
"Oleh karena itu, mulai saat ini dipikirkan untuk penghematan air secara besar-besaran," pungkas Eddy.
Baca juga: Sawah di wilayah Karawang selatan "menganggur" pada musim kemarau
Baca juga: Awas El Nino
Baca juga: Periset BRIN ungkap alasan modifikasi cuaca belum optimal di Jakarta
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023