Jakarta (ANTARA) - Belakangan masa ini nyaris tak ada satu hari tanpa berita cuaca ekstrem. ​​​​Panas menyengat dan badai-badai dahsyat pemicu angin kencang, melanda banyak tempat di dunia.

Akibatnya, sejumlah tempat di dunia, termasuk Eropa, dihantam kebakaran hutan dan lahan yang dahsyat.

Situasi sama terjadi di Benua Amerika, khususnya Amerika Serikat dan Kanada, sampai jauh ke Hawaii, di mana kebakaran lahan terhebat di Amerika Serikat dalam hampir seabad terakhir terjadi di sana.

Yang membuat panas kali ini membuat dunia semakin was-was adalah datangnya lagi El Nino, setelah tiga tahun absen.

Badan Oseanografi dan Atmosfer Amerika Serikat (NOAA), bahkan memperkirakan El Nino kali ini kemungkinan baru berhenti Februari 2024.

Mengutip keterangan Climate.gov, El Nino adalah pemanasan permukaan laut atau suhu permukaan laut di atas rata-rata (SST) di Samudera Pasifik tropis bagian tengah dan timur.

Saat fenomena ini terjadi, curah hujan cenderung berkurang di Indonesia, sebaliknya curah hujan meningkat di wilayah tropis Samudera Pasifik.

Pada periode ini, angin permukaan tingkat rendah yang biasanya bertiup dari timur ke barat sepanjang garis khatulistiwa (angin timur), melemah untuk kemudian bertiup dari barat ke timur (angin barat).

Sebaliknya, La Nina adalah pendinginan permukaan laut atau suhu permukaan laut di bawah rata-rata (SST) di Samudera Pasifik tropis bagian tengah dan timur.

Dalam fenomena ini, kalau di Indonesia, curah hujan cenderung meningkat, justru di wilayah tropis tengah Samudera Pasifik, curah hujan menurun. Angin timur normal di sepanjang khatulistiwa menjadi semakin kuat.

El Nino biasanya terjadi manakala suhu permukaan laut di Pasifik timur tropis naik paling sedikit 0,5 derajat Celcius di atas rata-rata iklim dalam jangka panjang.

Fenomena ini biasanya terjadi dalam dua tahun hingga tujuh tahun sekali, tapi gangguannya pada pola cuaca normal sungguh dahsyat, salah satunya adalah mengacaukan siklus tanam pertanian, sehingga merusak ketahanan pangan di banyak wilayah dunia.

Tahun 2023 diyakini banyak kalangan pakar sebagai tahun paling panas, dan keadaan ini diprediksi berlanjut sampai 2024 yang disebut-sebut juga bakal lebih panas lagi, mendekati 1,4 derajat C di atas suhu sebelum era revolusi industri.

Perubahan cuaca menjadi lebih panas itu membuat wilayah-wilayah tropis terancam kekeringan, sehingga mengancam ketersediaan pangan dan memicu penyakit yang bisa berubah menjadi wabah. El Nino bisa memperburuk keadaan ini.


Diprediksi lebih dahsyat

Menurut NOAA, El Nino tahun ini bakal menjadi El Nino yang lebih kuat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.

Bayangkan apa yang bisa terjadi tahun ini dan nanti jika saat terakhir kali fenomena ini mengharu biru dunia pada 2014-2016 saja sudah merusakkan banyak hal.

Kerusakan itu, mulai dari siklus pangan yang kacau di Afrika Selatan, sehingga produksi pangan anjlok ke titik terendah dalam 20 tahun terakhir, sampai memicu kebakaran hutan terburuk di Indonesia yang membuat negara-negara tetangga terusik, sehingga menjadi masalah kawasan, bahkan memicu wabah penyakit di beberapa tempat.

Salah satu alasan mengapa El Nino kali ini bisa lebih dahsyat, adalah karena terjadi bersamaan dengan pemanasan global yang kian akut.

Dalam kaitan itu, badan-badan kemanusiaan sampai mengingatkan bakal menimbulkan situasi rawan pangan di berbagai tempat, termasuk Asia Tenggara, dan sanitasi serta wabah penyakit di Afrika dan Amerika Selatan.

Kabar baiknya, El Nino adalah fenomena yang bisa diprediksi, sehingga dampak buruknya bisa ditekan karena masyarakat dan pemerintah di berbagai wilayah, termasuk Indonesia, semakin siap menghadapinya.

Tiga hari lalu, pada 27 Agustus 2023, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan bahwa sampai Oktober nanti, Sumatera bagian tengah hingga Selatan, Riau bagian Selatan, Jambi, Lampung, Banten, dan Jawa Barat, berpotensi menjadi daerah-daerah di Indonesia yang terkena dampak terparah fenomena El Nino.

Sebelum itu, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan sejumlah langkah menghadapi skenario terburuk akibat El Nino, termasuk dampaknya terhadap ketahanan pangan, di antaranya dengan menetapkan Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, sebagai enam provinsi penjaga pasokan beras nasional terjaga selama El Nino.

Pemerintah juga menyiapkan sembilan skema antisipasi iklim ekstrem akibat El Nino, yang di antaranya adalah mengidentifikasi dan memetakan lokasi terdampak kekeringan, mempercepat pola tanam, meningkatkan ketersediaan air, menyediakan benih pertanian, program 1.000 hektare, dan menyiapkan lumbung pangan hingga tingkat desa.

Tentu saja itu belum cukup karena El Nino juga memicu bencana alam yang bakal menuntut langkah tanggap darurat yang menyeluruh, termasuk anggaran yang cukup dan petugas penyelamat yang sigap mengatasi bencana apa pun, sehingga tidak merusakkan banyak hal, termasuk meminimalkan korban jiwa.

Apalagi situasi yang terjadi di Eropa, Hawaii, dan banyak tempat di dunia saat ini, mengajarkan kepada Indonesia, agar terus menaikkan level kesiapan pada tingkat paripurna, bukan saja untuk melawan atau menjinakkan bencana, namun juga bagaimana malapetaka tidak menciptakan dampak yang terlalu buruk kepada manusia dan pencapaian kehidupannya.

Namun, jika melihat apa yang dilakukan berbagai lembaga dan badan nasional, mulai dari Kementerian Pertanian sampai Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang tengah menyiapkan langkah menghadapi dampak kekeringan dan kebakaran hutan serta lahan, Indonesia sejauh ini tampaknya siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk akibat El Nino.


Copyright © ANTARA 2023