Jakarta (ANTARA) - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini tengah mendalami dugaan aliran dana dalam bentuk tunai ke mantan Direktur Utama PT Amarta Karya Catur Prabowo (CP), yang telah ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi proyek fiktif dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Hal tersebut didalami penyidik dengan memeriksa saksi dari pihak swasta yakni Bambang Suparno. Yang bersangkutan diperiksa penyidik lembaga antirasuah pada Senin (28/8) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.

"Saksi Bambang Suparno hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan adanya aliran penerimaan uang secara tunai oleh tersangka CP," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.


Dalam pemeriksaan tersebut ditemukan dugaan bahwa uang tunai tersebut disimpan dan dikelola oleh orang kepercayaan tersangka CP.

KPK telah menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan proyek fiktif di PT Amarta Karya Tahun 2018-2020, yakni mantan Direktur Utama Catur Prabowo (CP) dan mantan Direktur Keuangan PT Amarta Karya Trisna Sutisna (TS).

KPK melakukan penahanan kepada Trisna Sutisna pada tanggal 11 Mei 2023, sementara penahanan terhadap Catur dilakukan pada tanggal 17 Mei.

Penyidik KPK kemudian kembali menetapkan Catur Prabowo sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada Senin (21/8).

Kasus tersebut, ungkap penyidik lembaga antirasuah, berawal pada tahun 2017. Saat itu, tersangka Trisna menerima perintah dari Catur Prabowo yang kala itu masih menjabat Direktur Utama PT Amarta Karya.

Catur memerintahkan Trisna dan pejabat di bagian akuntansi PT Amarta Karya untuk mempersiapkan sejumlah uang untuk kebutuhan pribadinya dengan sumber dana yang berasal dari pembayaran berbagai proyek yang dikerjakan PT Amarta Karya.

Tersangka TS bersama dengan beberapa staf di PT Amarta Karya kemudian mendirikan badan usaha berbentuk CV yang digunakan menerima pembayaran subkontraktor dari PT Amarta Karya tanpa melakukan pekerjaan alias fiktif.

Pada tahun 2018, dibentuk beberapa badan usaha CV fiktif sebagai vendor yang akan menerima berbagai transaksi pembayaran dari kegiatan proyek PT Amarta Karya. Hal ini sepenuhnya atas sepengetahuan tersangka CP dan TS.


Untuk pengajuan anggaran pembayaran vendor, tersangka CP selalu memberikan disposisi "lanjutkan" dibarengi dengan persetujuan surat perintah membayar (SPM) yang ditandatangani tersangka TS.

Buku rekening bank, kartu ATM, dan bonggol cek dari badan usaha CV fiktif itu dipegang staf bagian akuntansi PT Amarta Karya yang menjadi orang kepercayaan CP dan TS untuk memudahkan pengambilan dan pencairan uang sesuai dengan permintaan tersangka CP.

Uang yang diterima tersangka CP dan TS kemudian diduga, antara lain, digunakan untuk bayar tagihan kartu kredit, pembelian emas, perjalanan pribadi ke luar negeri, pembayaran member golf, dan pemberian kepada beberapa pihak terkait lainnya.

Perbuatan kedua tersangka tersebut diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp46 miliar.

Atas perbuatannya kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Baca juga: KPK periksa pimpinan perusahaan peserta lelang Basarnas

Baca juga: KPK: Hati-hati keluarga dan lingkungan dorong tindakan korupsi

Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2023