Hanya dengan mengenal watak tanah-tanah di Kalimantan maka pemanfaatan tanah di pulau ini untuk pertanian dapat berdampak positif bagi bangsa ini.
Jakarta (ANTARA) - Pepatah klasik "don't judge a book by its cover" pantas disematkan untuk menilai tanah di Pulau Kalimantan.
Hutan hujan tropis di Kalimantan pernah dijuluki sebagai jantungnya zamrud khatulistiwa. Ia juga menjadi paru-paru dunia terakhir bersama hutan tropis lain di Brasil dan Kongo.
Namun, banyak yang keliru menyangka lantai di bawah hamparan hutan yang menghijau di Kalimantan pada era 70-80-an itu terdapat tanah subur dan produktif.
Sebetulnya, di balik tutupan lahan (land cover) yang menghijau di bumi Kalimantan terdapat berbagai tanah yang berwatak seperti 'macan tidur' yang berbahaya.
Ia siap memangsa siapa saja yang membuka lahan tanpa memahami karakteristik tanah Kalimantan. Pada masa silam ‘macan tidur’ tersebut pernah terbangun sehingga niat baik Pemerintah membangun ketahanan pangan gagal. Niat baik tersebut kandas karena tak melaksanakan semua saran dari 'pawang macan' yaitu para ahli tanah dan sumber daya lahan.
Tanah-tanah di Kalimantan umumnya tergolong tanah yang rentan (fragile). Tanah Kalimantan memang subur dalam ekosistem tertutup seperti hutan alami, tetapi segera menjadi marjinal ketika sistem tersebut dibuka untuk pertanian, perkebunan, dan permukiman sehingga membutuhkan manajemen dan teknologi yang tepat.
Tanah Kalimantan benar seperti tanah subur, tetapi kesuburannya adalah kesuburan semu alias pseudo-fertility.
Mereka seperti barang pecah belah yang ketika dibuka secara sembrono dapat mendatangkan bencana.
Tiga macam
Paling tidak terdapat tiga macam tanah yang perlu dikenali di Kalimantan. Pertama, histosols yang di Indonesia dikenal sebagai tanah gambut atau tanah organik. Hutan di atas tanah gambut perawan terlihat subur hijau menawan ketika dilihat dari atas udara atau foto citra satelit, tetapi di balik itu tanah gambut merupakan tanah yang paling rentan.
Histosols merupakan tanah yang berupa tumpukan serasah tebal yang melapuk lambat. Material organik berasal dari serasah tanaman hutan yang jatuh membentuk tanah. Ia terbentuk di daerah cekungan dan berair sehingga lambat terurai.
Gambut ibarat spons raksasa yang dapat menyimpan air dalam jumlah sangat besar. Jika dibuka tanpa hati-hati histosols dapat rusak karena air yang terkandung pada gambut mengalir keluar meninggalkan cekungan besar. Dampaknya, lahan rawan banjir di musim hujan serta kekeringan di musim kemarau sehingga gambutnya rentan terbakar.
Proyek pembukaan lahan gambut sejuta hektare di era Soeharto menjadi contoh kegagalan pembukaan histosols. Beruntung beberapa pemerintahan berikutnya bersama swasta, petani transmigrasi yang ulet, dan para peneliti telah berupaya memulihkan kembali agar lahan telantar memiliki nilai tambah secara ekonomi bagi masyarakat.
Sebagian lahan akhirnya menjadi kembali produktif untuk komoditas sawit dan pangan, sementara sebagian lain tetap dibiarkan telantar untuk memulihkan dirinya secara alami melalui proses suksesi.
Kedua, spodosols yang dikenal di Indonesia sebagai tanah podsol. Berbeda dengan histosols yang berasal dari bahan organik, maka spodosols berasal dari bahan induk yang berpasir.
Spodosols di Indonesia terbentuk karena curah hujan tinggi di daerah hutan tropis. Permukaan tanah spodosols perawan berwarna gelap karena bahan induk yang berpasir mendapat pasokan bahan organik dari serasah tanaman hutan di atasnya.
Namun, seiring waktu bahan organik tercuci bersama aluminium dan besi yang juga terlarut karena curah hujan tinggi melewati melewati bahan induk yang berpasir.
Dampaknya bahan induk berpasir menjadi putih karena yang tertinggal hanya pasir kuarsa yang dikenal oleh para ilmuwan tanah sebagai horison albik (dari kata albino, pucat atau terang).
Berikutnya di bawah lapisan terang tersebut menumpuk lapisan memadas berupa campuran humus, aluminium, dan besi yang berwarna abu-abu yang disebut horison spodik.
Berdasarkan proses tersebut spodosols perawan memiliki penambang profil secara berurutan yakni gelap oleh bahan organik, kuarsa putih, dan gelap oleh campuran bahan organik, aluminium, dan besi serta bahan pasir.
Ketika masih belum terganggu spodosols seperti terlihat subur. Di atasnya tumbuh hutan hujan tropis hijau karena berupa ekosistem yang tertutup.
Namun, ketika hutan dibuka, maka ekosistem tertutup berubah menjadi terbuka. Lapisan gelap paling atas mudah tererosi karena tergerus air hujan dan aliran permukaan (run off) sehingga lapisan di bawahnya berupa pasir kuarsa tersingkap.
Celakanya pasir kuarsa itu menjadi zona perakaran ketika spodosols dibuka untuk lahan pertanian.
Pasir kuarsa berbeda dengan pasir asal gunung berapi yang subur. Butiran pasir kuarsa miskin unsur hara bahkan dapat disebut nol unsur hara. Pasir kuarsa juga tak mampu memegang unsur hara ketika pupuk anorganik ditambahkan. Pupuk yang diberikan ke hamparan pasir kuarsa akan tercuci lalu hilang ke perairan terdekat.
Kondisi itulah yang menyebabkan program food estate yang dibuka pada spodosols di Kalimantan Tengah, juga kandas.
Batang singkong tumbuh merana dengan umbi akar yang kurus. Singkong yang dianggap tanaman paling gampang tumbuh pun tak mampu hidup optimal.
Para ahli tanah dan ahli agronomi terlambat dilibatkan ketika penentuan lokasi food estate sehingga spodosols tetap dibuka tanpa pendampingan teknologi yang tepat dan spesifik lokasi.
Ketiga, acid sulfate soil atau tanah sulfat masam. Tanah ini terbentuk dari bahan sedimen atau endapan yang di bagian bawahnya mengandung lapisan pirit yang disebut juga lapisan besi sulfat.
Tanah sulfat masam dapat hadir pada tanah bergambut, tanah gambut, maupun tanah mineral. Pada kondisi tergenang atau berada di bawah permukaan tanah yang tidak terkena udara, lapisan tersebut tidak berbahaya.
Namun, ketika terbuka maka lapisan tersebut teroksidasi menjadi asam sulfat yang sangat masam sehingga meracuni akar tanaman. Asam sulfat juga memasamkan perairan di sekitarnya sehingga juga membunuh ikan-ikan yang tidak toleran.
Pada masa lalu pembukaan lahan sulfat masam yang sembrono telah menyengsarakan para transmigran di Sumatera, tetapi di sisi lain pembukaan lahan sulfat masam yang hati-hati dapat menyejahterakan petani.
Pengaruh sulfat masam juga dapat sangat dominan pada masa-masa awal pembukaan lahan, tetapi lambat laun dapat menghilang seiring waktu karena tercuci air hujan atau air irigasi.
Hal tersebut yang menjelaskan beberapa daerah transmigran awalnya miskin, tetapi seiring waktu menjadi sejahtera seiring kondisi lahan yang membaik.
Berdampingan
Di Pulau Kalimantan, sebaran ketiga tanah tersebut seringkali berdampingan dalam sebuah bentang lahan yang datar atau cekung di dekat laut hingga ke pedalaman di dekat sungai besar atau danau yang luas.
Secara alami ketiga tanah tersebut memang berada di daerah dengan curah hujan tinggi atau basah sebagai salah satu syarat proses terbentuknya tanah tersebut.
Penggunaan lahan tersebut untuk pertanian hanya memungkinkan jika dilakukan secara hati-hati dengan teknologi yang spesifik lokasi karena wataknya sangat berlainan dengan tanah-tanah di lahan kering di Pulau Jawa.
Spodosols di daerah A, misalnya, boleh jadi membutuhkan teknologi yang berbeda dengan yang dibutuhkan di daerah B, tergantung kondisi lingkungannya. Demikian pula sebaliknya. Begitu juga histosols di daerah C membutuhkan teknologi berbeda dengan histosols di daerah D.
Hanya dengan mengenal watak tanah-tanah di Kalimantan maka pemanfaatan tanah di Kalimantan untuk pertanian dapat berdampak positif bagi bangsa ini.
Sudah saatnya memberi ruang bagi para peneliti tanah agar banyak terlibat dalam mewujudkan kedaulatan pangan yang berkelanjutan di negeri ini.
Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc adalah peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Copyright © ANTARA 2023