Jakarta (ANTARA News) - Partai politik dan calon presiden tebar pesona di dunia maya seperti twitter dan facebook.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah contoh terbaru dalam penggunaan media sosial twitter. Pilihan berselancar menggunakan media sosial tidak bisa dilepaskan dari kisah sukses Presiden AS Barack Obama dalam memenangi pemilihan presiden.

Sukses "Si Anak Menteng" menuju Gedung Putih tidak bisa dipisahkan oleh kampanye digital (digital campaign) atau juga disebut online campaign. Melalui kampanye digital itu, tim sukses Obama berhasil meyakinkan pemilih. Tidak itu saja. Kampanye digital itu juga berhasil melakukan pencarian dana kampanye (fund raising) Obama.

Kampanye digital ini tak ubahnya seperti fusi teknologi digital dari konvergensi radio, telepon, TV, komputer, dan film layar lebar. Apalagi ditunjang dengan perkembangan teknologi telekomunikasi dan internet. Ini adalah sebuah revolusi dalam pemasaran.

Saat ini, kampanye digital menjadi kecenderungan dalam pemasaran modern. Model ini banyak diadopsi untuk mempromosikan dan memasarkan produk. Dari layanan eksklusif, layanan massal, maupun memasarkan ide serta janji.

Dahlan Iskan, Prabowo Subianto, Jusuf Kalla, dan Aburizal Bakrie, adalah sederet kecil tokoh yang sudah melakukan kampanye digital dengan memiliki akun di twitter dan facebook. PDI Perjuangan, PKS, Partai Golkar juga melakukan hal serupa.

Mereka meyakini tak bisa dipisahkan kisah sukses Obama dalam mengarungi sengitnya Pilpres di AS. Selain itu, untuk urusan kantung karena penggunaan kampanye digital lebih murah dibandingkan dengan teknik komunikasi lain seperti mengumpulkan massa di lapangan terbuka atau pasang iklan di berbagai media massa.

Dengan kampanye digital, banyak mendapatkan masukan (feed back) ketimbang mengumpulkan orang di lapangan terbuka atau pasang iklan.

Setiap pengikut (follower) di akun media sosial sangat bebas dan terbuka melakukan kritik atau lainnya kepada tokoh ataupun parpol. Tanpa sekat apapun yang kerap terjadi antara pemilih dengan parpol ataupun calon pemimpin.

Para pengikut juga dapat mengikuti apa saja yang dilakukan si empu sosial media. Baik pikiran maupun perbuatan/pencitraan.

Media sosial sebagai alat komunikasi oleh parpol adalah bentuk baru dari perkembangan demokrasi. Alat komunikasi alternatif ini kian tumbuh sejak satu dekade terakhir.

Fenomena ini akan terus berjalan bersamaan dengan pertumbuhan teknologi komunikasi dan internet dan demokrasi.

Pemilihan alat kampanye ini berguna untuk menyasar segmentasi pemilih A, B, dan C.

Hasil survei "Political Weather Station" dan Institut Survei Indonesia (INSIS) ada sekitar 20-35 persen pemilih adalah kelas menengah. Kelas ini sangat potensial untuk menggerakkan pemilih (facilitate political participation). Segmentasi A, B, dan C itu ada dalam bagian angka 20-35 persen.

Terlepas dari segudang kelebihan itu bukan berarti media sosial tidak memiliki kekurangan. Alat komunikasi hanya berada pada segmentasi pemilih A, B, dan C. Mereka harus melek secara ekonomi, teknologi, dan persoalan kekinian. Dengan begitu, barulah alat komunikasi dapat berjalan efektif.

Bila dibandingkan dengan teknik serangan darat lainnya yakni tatap muka langsung dengan pemilih langsung dalam jumlah kecil (door to door campaign) maka media sosial jauh tertinggal karena pemilih dapat berinteraksi langsung dan tatap muka. Sedangkan media sosial harus difasilitasi teknologi komunikasi dan internet.

Namun, penggunaan teknik door to door campaign sangat berbiaya besar karena bukan sembarang orang yang dapat melakukannya.

*) Peneliti senior The Founding Fathers House

Oleh Dian Permata*)
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013