... keberadaan MHA ini sudah dapat pengakuan, bahkan telah mendapat pengakuan dunia,

Samarinda (ANTARA) - Iring-iringan mobil rombongan Gubernur Kaltim Isran Noor dan Bupati Kutai Timur (Kutim) Ardiansyah Sulaiman, melaju pelan saat memasuki Desa Miau Baru, Kecamatan Kongbeng, Kutim, pagi itu.

Ratusan pelajar SD, SMP, dan SMA berjejer di sepanjang jalan sambil melambaikan bendera Merah Putih kecil di tangan kanan mereka karena masih suasana perayaan HUT Ke-78 Kemerdekaan RI, meski sudah masuk pekan keempat Agustus 2023.

Dari dalam mobil, wajah mereka terlihat cerah sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya, saat rombongan melintasi di salah satu kelompok pelajar.

Di kelompok barisan lainnya, beberapa pelajar teriak, "Doakan kami ya, Om. Semoga kami sukses". Adapun di deretan kelompok lainnya, tangan kanan mereka disodorkan ke arah mobil, tanda minta tos (kompak), rombongan pun mengeluarkan tangan dari jendela mobil agar telapak tangan mereka bisa bersentuhan dengan telapak tangan secara bergantian.

Sampai di tengah desa, sebelum masuk ke Lamin Adat YH Langet Anye (rumah adat Suku Dayak setempat), gubernur dan rombongan disambut dengan upacara adat.

Gubernur Kaltim diberi dan dikenakan pakaian adat plus tapung (topi khas Dayak), sementara para tamu yang masuk dalam rombongan gubernur diikatkan gelang tradisional di tangan kanan, sebagai tanda penghormatan dan pengakuan bahwa para tamu diterima dengan baik.

Rombongan melakukan kunjungan kerja ke desa ini dalam rangka menyalurkan sejumlah bantuan, termasuk memberikan semangat masyarakat adat setempat yang terus melestarikan adat dan budaya, termasuk menjaga hutan tetap lestari.

Secara keseluruhan, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) memiliki 185 komunitas adat atau masyarakat adat yang tersebar pada 150 desa dan kelurahan.

Dari 185 komunitas adat ini, lima masyarakat hukum adat (MHA) telah mendapat pengakuan dan perlindungan melalui surat keputusan (SK) bupati. Masyarakat adat merupakan cikal bakal menuju MHA.

Rincian dari lima MHA itu adalah dua MHA berasal dari Kabupaten Paser, kemudian tiga MHA lainnya berasal dari Kabupaten Kutai Barat.

Ada pula 16 MHA masih dalam proses verifikasi dan pengesahan melalui SK bupati. Dari 16 ini, 10 MHA berasal dari Kabupaten Kutim.

Rincian 10 MHA tersebut adalah tujuh berada di Kecamatan Wahau yakni MHA Kayan Umaq Lekan di Desa Miau Baru, kemudian kluster MHA Wehea tersebar di enam desa, MHA Basap Tebangan Lembak di Kecamatan Bengalon, MHA Long Bentuk di Kecamatan Busang, dan MHA Basap di Karangan Dalam, Kecamatan Karangan.

"Secara de jure (berdasarkan hukum) keberadaan MHA di Kutim memang belum, tapi secara de facto (fakta), keberadaan MHA ini sudah dapat pengakuan, bahkan telah mendapat pengakuan dunia," kata Isran Noor.

Meski demikian, ia bersama bupati dan wali kota se-Kaltim, termasuk dengan Bupati Kutim saat ini, terus mendorong pengurus MHA bersama pihak terkait melengkapi dokumen administrasi agar segara bisa disahkan secara hukum.

Hal ini perlu dilakukan karena untuk memperoleh pengakuan MHA diperlukan beberapa lembar kertas yang ditandatangani mulai dari komunitas, kepala desa/lurah, camat, hingga bupati/wali kota, sementara untuk mencapai ini perlu prasyarat yang lumayan "jelimet".


Butuh SK PPMHA

Keberadaan MHA untuk bisa disahkan secara hukum, salah satu payung hukum yang krusial diperlukan adalah Surat Keputusan Bupati atau Wali Kota tentang Panitia Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (SK Panitia PPMHA).

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi (DPMPD) Kaltim Anwar Sanusi mengatakan saat ini sudah ada empat kabupaten yang telah memiliki SK Panitia PPMHA.

Empat kabupaten itu adalah Kutai Timur, Kutai Barat, Mahakam Ulu, dan Kabupaten Paser, sedangkan tiga kabupaten dan tiga kota yang belum memiliki SK Panitia PPMHA adalah Kutai Kartanegara, Penajam Paser Utara, Kabupaten Berau, Kota Samarinda, Balikpapan, dan Bontang.

Keberadaan SK Panitia PPMHA menjadi syarat untuk mendapatkan pengakuan MHA, sedangkan peraturan daerah (perda) masih bisa menyusul setelah adanya penetapan MHA dari bupati atau wali kota.

Untuk membuat perda atau peraturan bupati (perbub) tersebut, maka harus mengacu pada aturan di atasnya dan itu telah dilakukan oleh empat kabupaten yang telah memiliki perda atau perbub tentang Pedoman PPMHA.

Pemprov Kaltim terus mendorong kabupaten/kota lain segera merancang dan mengesahkan Perda tentang Pedoman PPMHA untuk memberikan kepastian perlindungan hukum bagi MHA di masing-masing wilayahnya.

Dalam penyusunan rancangan Perda PPMHA, kabupaten/kota di Provinsi Kaltim bisa mengacu pada perda yang telah disahkan oleh Pemprov Kaltim, yakni Perda Kaltim Nomor 1 tahun 2015 tentang Pedoman PPMHA.

Empat kabupaten di Kaltim yang telah memiliki payung hukum tersebut adalah Kabupaten Paser dengan Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang PPMHA, Kabupaten Kutai Barat dengan Perda Nomor 13 Tahun 2017 tentang PPMHA.

Kabupaten Mahakam Ulu dengan Perda Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Lembaga Adat, kemudian Kabupaten Kutai Timur dengan Perbub Nomor 37 tahun 2020 tentang Pedoman Identifikasi, Verifikasi, dan Penetapan MHA.

Ruang lingkup perbub ini meliputi panitia MHA, tata cara identifikasi, verifikasi, penetapan, penyelesaian sengketa, pendanaan, dan ketentuan peralihan kepanitiaan.


Masyarakat adat di IKN

Khusus di Kabupaten Penajam Paser Utara telah terdata sebanyak 24 masyarakat adat. Jika dikerucutkan lagi, maka di Ring 1 Ibu Kota Nusantara (IKN) atau di Kecamatan Sepaku, dihuni oleh 8 Masyarakat Adat.

Rinciannya adalah di Kelurahan Sepaku ada Masyarakat Adat Balik, Paser Telake, Paser Semunte, dan Masyarakat Adat Paser Mayang.

Kemudian di Desa Semoi II ada Masyarakat Adat Balik, di Kelurahan Mentawir ada Masyarakat Balik, di Maridan ada masyarakat Balik, dan di Kelurahan Pemaluan juga ada Masyarakat Adat Balik.

Adapun total sebaran 185 masyarakat adat tersebut adalah di Kabupaten Berau terdapat 59 Masyarakat Adat, antara lain tersebar di Desa Teluk Sumbang, Birang, Samburakat, Long Keluh, Long Pelay, Merabu, Merasa, Long Keluh, Long Pelay, Lesan Dayak, Long Beliu, dan Long Duhun, Sei Lais, dan Tepian Buah.

Di Kabupaten Kutai Barat ada 13 Masyarakat Adat yang tersebar di Desa Tanjung Soke, Gerunggung, Deraya, Lemper, Pering Taliq, Muara Leban, Ujoh Halang, Jelmuk Sibak, Penarung, Rendah Empas, Muyub Ilir, Sembuan, Tanjung Isuy, Juaq Asa.

Di Kutai Timur terdapat 17 masyarakat adat yang tersebar di Desa Tanjung Mangkalihat, Long Bentuk, Muara Dun, Tebangan Lembak, Long Wehea, Dabeq, Bea Nehas, Diaq Lay, Nehas Liah Bing, Diaq Leway, Karangan Dalam, Tepian Terap, Miau Baru, dan Miau Baru Utara.

Kabupaten Kutai Kartanegara terdapat lima masyarakat adat yang tersebar di Desa Kedang Ipil, Ritan Baru, Lung Anai, Lekaq Kidau, dan Sungai Bawang,

Di Kabupaten Mahakam Ulu terdapat 48 masyarakat adat yang tersebar di 49 desa antara lain Long Apari, Naha Silat, Naha Buan, Long Kerioq, Long Isun, Long Pakaq, Long Tuyoq, Datah Naha, Long Merah, Danum Paroy, Matalibaq, Long Hubung, Mamahak Teboq, dan Datah Bilang.

Kabupaten Paser terdapat 14 masyarakat adat tersebar di Desa Rantau Layung, Swan Slutung, Busuy, Banangon, Lusan, Sekuan Makmur, Prayon, Semuntai, Kepala Telake, Pinang Jatus, Kerang Dayo, Muara Andeh, Muata Bintungan, dan Rangan.

Kabupaten Penajam Paser Utara terdapat 24 masyarakat adat tersebar di Desa/Kelurahan Sepan, Buluminung, Nenang, Nipah-Nipah, Sotek, Petung, Pantai Lango, Riko, Penajam, Waru, Sesulu, Babulu Darat, Sepaku, Semoi II, Mentawir, Maridan, dan Pemaluan.

Sedangkan di Kota Samarinda baru terdapat satu masyarakat adat, yakni Masyarakat Adat Dayak Kenyah Lepok Bakung di Kelurahan Pampang, kelurahan yang dikenal dengan sebutan Desa Budaya Pampang.

Terkait adat, negara memastikan hadir demi pelestarian istiadat dan budaya di tengah peradaban dunia. Bahkan menjadikan kebudayaan sebagai investasi untuk membangun masa depan karena keberagaman adat istiadat dan budaya merupakan identitas bangsa dan menjadi kekayaan yang tak ternilai.






Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023