Judulnya saja sudah "Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri" maka pasal-pasal yang harus diutamakan harus mencakup aspek perlindungan terhadap tenaga kerja,"
Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari mengimbau pemerintah untuk mengutamakan unsur perlindungan dalam revisi rancangan undang-undang (RUU) Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) guna memberi perlindungan optimal bagi pekerja migran.
"Judulnya saja sudah "Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri" maka pasal-pasal yang harus diutamakan harus mencakup aspek perlindungan terhadap tenaga kerja," kata Eva dalam acara "Media Briefing: Sosialisasi Pokok-pokok Pikiran Tentang Revisi RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN)" di gedung LKBN ANTARA, Jakarta, Rabu.
Eva mengatakan dirinya sejauh ini tidak puas dengan hasil sementara dari pembahasan RUU PPILN antara DPR dan pemerintah, apalagi ada 58 persoalan yang hilang dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait aspek perlindungan pekerja migran.
"Saya tidak puas dengan DIM dari DPR, namun saat saya membaca DIM dari pemerintah lebih tidak puas lagi. Itu karena ada 58 hal dari DIM yang hilang, dimana itu memuat aspek-aspek perlindungan hukum bagi para pekerja migran," katanya.
Terkait hal itu, dia mengatakan, pemerintah berargumen bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dapat merujuk pada UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003.
Selanjutnya, Anggota Panja RUU PPILN itu mengungkapkan bahwa pembahasan RUU tersebut antara pemerintah dan DPR sempat berjalan "alot" karena kedua pihak berbeda pendapat mengenai judul RUU tersebut.
Anggota Panja menginginkan judul seperti yang diusulkan DPR, yaitu mengutamakan kata "perlindungan", namun pemerintah ingin menggunakan kata "Penempatan" dalam judul RUU tersebut.
"Argumen dari Kemenakertrans bahwa aspek perlindungan bagi pekerja migran nantinya akan dimasukkan dalam pasal-pasal dibawah. Padahal, dalam undang-undang dikatakan judul itu menggambarkan isi utama dari pasal Jadi, kalau kata `penempatan` diutamakan, bisa jadi penempatan pekerja migran tanpa perlindungan dari negara," ujarnya.
"Sepertinya Kemenakertrans tidak niat berkomitmen melindungi pekerja migran kita. Dari judul undang-undang saja sudah tidak bisa melindungi," kata Eva menambahkan.
Dia menekankan bahwa pemerintah memang wajib berperan melindungi setiap warga negara Indonesia, khususnya para pekerja migran, melalui pembuatan dan implementasi undang-undang.
"Saya mendorong agar pemerintah kembali berperan dalam memberi perlindungan dan kesejahteraan kepada pekerja migran Indonesia dengan menyediakan mekanisme yang baik dan tidak "menjebak"," katanya.
Oleh karena itu, dia berharap Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) dapat meningkatkan etika kerja dalam menangani hal-hal yang berhubungan dengan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja di luar negeri.
Misalnya, dia menyarankan Kemenakertrans untuk melakukan sertifikasi bagi perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) karena dia menilai sekarang ini banyak PJTKI "nakal".
"Selama ini, saya lihat kinerja PJTKI yang buruk justru menyumbang masalah maka pemerintah harus kembali berperan dan tidak sepenuhnya menyerahkan masalah perlindungan pekerja migran kepada mereka," ujarnya.
"Dalam hal ini, Kemenakertrans harus mengawasi PJTKI dengan ketat. Kemudian, PJTKI lah yang bertugas melayani Kemenakertrans, dan bukan sebaliknya," kata Eva.
Sebelumnya, Pimpinan Panja RUU PPILN, Soepriyatno mengatakan bahwa prinsip utama dalam revisi RUU itu adalah memperbaiki minimnya perlindungan dalam UU tenaga kerja yang lama.
"Dalam Undang-undang yang lama itu mayoritas hanya mengatur soal penempatan dan mengesampingkan perlindungan. Akibatnya dalam praktik, pemerintah menyerahkan perlindungan TKI kepada pihak swasta yang tergolong memberi perlindungan sangat lemah," katanya.
Pewarta: Yuni Arisandy
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013