Jakarta (ANTARA) - Sudah saatnya lembaga pendidikan, khususnya pendidikan tinggi vokasi, tidak lagi menjadi "menara gading", tetapi dapat menjadi bagian dari aktor pembangunan di daerah.
Melalui riset terapan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan, diharapkan melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi dan inovasi yang dapat bermanfaat bagi kepentingan masyarakat serta pembangunan di daerah tempat lembaga pendidikan tersebut berada.
Untuk mewujudkan semua itu, diperlukan adanya ekosistem yang mendukung. Ekosistem yang berasal dari kolaborasi yang terjalin antara pendidikan tinggi vokasi, pemerintah daerah, dunia usaha, dunia industri, dan juga masyarakat setempat.
Tentunya kolaborasi yang baik akan terwujud jika semua pihak memiliki kesamaan visi. Selama ini, kolaborasi atau gotong royong yang dilakukan oleh pendidikan vokasi dengan berbagai mitra bersifat spontan.
Hal itu diakui oleh Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek Kiki Yuliati, pada "kick off" nasional program penguatan ekosistem kemitraan untuk pengembangan inovasi berbasis potensi daerah di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ekosistem kolaborasi yang berkelanjutan diperlukan agar kerja sama yang dilakukan berjalan sistematis, efektif dan juga terkendali. Tidak bersifat sporadis dan sepotong-potong.
Melalui program yang diinisiasi oleh Direktorat Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Industri tersebut, perguruan tinggi vokasi di daerah didorong untuk membentuk konsorsium, yang terdiri dari beberapa kampus.
Misalnya di Aceh, empat perguruan tinggi vokasi, yakni Akademi Komunitas Negeri Aceh Barat, Politeknik Negeri Lhokseumawe, Politeknik Aceh, dan Politeknik Aceh Selatan, berkolaborasi mendirikan konsorsium. Sebagai kampus pengampu, ditunjuklah Politeknik Negeri Lhokseumawe.
Kolaborasi itu tidak hanya terbatas pada satu provinsi saja. Perguruan tinggi vokasi di Jawa Barat dan Provinsi Banten sepakat untuk membentuk konsorsium yang dikomandoi oleh Sekolah Vokasi IPB.
Sedangkan kampus yang menjadi anggota konsorsium adalah Politeknik Negeri Bandung, Politeknik Manufaktur Negeri Bandung, Politeknik Negeri Jakarta, Politeknik Negeri Media Kreatif, Politeknik Negeri Indramayu, dan Politeknik Negeri Subang.
Saat ini terdapat 20 perguruan tinggi vokasi di daerah yang menjadi pengampu program konsorsium tersebut. Secara keseluruhan terdapat 65 perguruan tinggi vokasi, baik swasta maupun negeri yang menjadi anggota konsorsium.
Melalui program penguatan ekosistem kemitraan yang berlangsung dalam tiga tahun tersebut, diharapkan akan melahirkan berbagai inovasi yang dapat mendukung pembangunan di daerah. Pada tahun pertama program akan menghasilkan "policy brief", yang berisi rencana kerja dan inovasi.
Sementara pada tahun kedua dan ketiga, fokus luaran program itu adalah mengimplementasikan agenda prioritas pembangunan daerah yang mengacu pada potensi dan keunggulan, serta rencana inovasi yang telah dibuat pada tahun sebelumnya, melalui jejaring kemitraan.
Untuk mendukung program tersebut, pemerintah melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) mengalokasikan dana sebesar Rp55 miliar, yang dibagi menjadi tiga tahun pendanaan. Tahun pertama digelontorkan sebesar Rp15 juta, kemudian tahun kedua dan ketiga, masing-masing sebesar Rp20 miliar.
Dalam program tersebut, pengampu program diharapkan dapat membawa iklim ilmiah dan kritis ke pembangunan ekonomi daerah.
Program itu juga disebut sebagai respons pendidikan vokasi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi.
Penyesuaian kurikulum
Melalui ekosistem kolaborasi yang melibatkan berbagai pihak tersebut, diharapkan perencanaan tenaga kerja dan inovasi menjadi lebih jelas dan efektif.
Pendidikan tinggi vokasi sebagai pencetak dan penyedia SDM yang unggul, memiliki acuan yang jelas dalam menyelenggarakan pendidikan yang berbasis permintaan, serta mengubah pendidikan dari sisi penyediaan lulusan.
Selama ini, dunia pendidikan terkesan menjaga jarak dengan pemangku kepentingan. Akibatnya, kompetensi lulusan yang dihasilkan tidak selaras dengan apa dibutuhkan oleh pasar kerja.
Sejatinya, pendidikan vokasi dapat adaptif dan fleksibel dalam mempersiapkan dan menyediakan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan serta potensi daerah tersebut.
Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek memberikan keleluasan bagi satuan pendidikan vokasi untuk menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan di lapangan dan kondisi di daerah.
Penyesuaian tersebut penting, karena setiap daerah memiliki ciri khas dan kebutuhan yang berbeda. Selain itu, ilmu pengetahuan juga berkembang dengan pesat. Kemitraan menjadi salah satu pintu bagi pendidikan vokasi dalam menyinergikan pendidikan dengan pembangunan ekonomi daerah.
Kemitraan telah menjadi bagian dalam transformasi pendidikan dan pelatihan vokasi. Komite Tetap Pelatihan Vokasi Kamar Dagang dan Industri (KADIN) mengkonfirmasi bahwa industri terus dilibatkan sejak awal pembentukan Perpres Nomor 68 tahun 2022.
Hal itu kemudian ditindaklanjuti dengan peran KADIN di daerah dengan membuat kelompok kerja dan juga penguatan sumber daya manusia. Sebelumnya, pihak industri hanya dilibatkan pada tahap peluncuran peraturan saja.
Meski demikian, sampai saat ini, implementasi revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi belum berjalan sebagaimana mestinya. Pasalnya petunjuk teknis dan pelaksanaan masih dikaji oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Kemendagri sendiri terus mendorong agar penerapan aturan tersebut dapat terwujud melalui revisi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) serta pedoman penyusunan APBD yang menyesuaikan dengan kemampuan daerah masing-masing. Kini, saatnya perguruan tinggi vokasi dapat menjadi aktor pembangunan dengan melahirkan SDM yang kompeten dan juga berbagai bentuk inovasi yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
Copyright © ANTARA 2023