"Di luar negeri, data menunjukkan rataan usia 68 tahun, di Indonesia berada di angka 58 tahun," katanya dalam acara yang bertajuk "Kenali Konsensus Baru Nasional Skrining Kanker Paru" yang diikuti di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Metode LDCT dinilai dapat turunkan angka kematian kanker paru
Dia menyebutkan berbagai faktor risiko, seperti faktor genetik, zat karsinogen, bahan bangunan berupa asbes, debu, serta polusi udara yang terdapat di sejumlah daerah perkotaan di Indonesia menjadi beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia berada pada angka tersebut.
Ia menyayangkan kondisi tersebut juga diperparah dengan kasus kanker paru yang umumnya ditemukan saat sudah berada pada stadium lanjut.
"Di RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat) Persahabatan Jakarta, 95 persen pasien yang datang untuk didiagnosis sudah mencapai stadium empat," ujarnya.
Oleh karena itu, Sita mengimbau kepada masyarakat agar melakukan skrining bila terpapar dengan faktor risiko penyebab kanker paru.
Dengan melakukan skrining sejak dini, kata dia, dapat mengurangi risiko terjadinya kanker yang lebih parah, sehingga lebih mudah untuk ditangani dan disembuhkan.
Baca juga: Pulmonolog: Kanker paru stadium dini bisa ditangani dengan operasi
Baca juga: Dokter: Gunakan masker untuk proteksi paru dari polusi udara
Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin menganjurkan seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan deteksi dini atau skrining kesehatan secara berkala untuk pengendalian kasus di Indonesia.
“Kanker itu dapat dikendalikan, angka survival ratenya tinggi, tapi syaratnya harus deteksi dini. Sekitar 90 persen bisa dikendalikan, kalau ditemukan pada stadium lanjut, 90 persen akan meninggal,” kata Budi Gunadi Sadikin dalam keterangan tertulis di Jakarta (20/2).
Di Indonesia, kata Menkes, sebagian besar pasien yang memeriksakan diri saat kanker sudah dalam stadium lanjut. Akibatnya 90 persen kasus tidak mendapatkan penanganan yang optimal, yang berakhir pada kematian.
Pewarta: Sean Filo Muhamad
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023