Jakarta (ANTARA News) - Kasus penyerbuan dan meninggalnya empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengundang beragam pandangan di masyarakat.
Ada kelompok masyarakat yang merasa lega atas terbunuhnya empat orang tahanan yang memang sering mengganggu kenyamanan masyarakat di Yogyakarta.
Ada pula yang mengutuk tindakan semena-mena tersebut yang dianggap telah melanggar Hak Azasi Manusia.
Peristiwa tersebut mengukuhkan bahwa hukum di negara ini belum menjadi ujung tombak keadilan di masyarakat.
Lembaga yang berkaitan pada penegakkan keadilan, seperti polisi, hakim, jaksa, kehilangan kepercayaan karena terlibat begitu banyak kasus pelanggaran penegakkan hukum sendiri.
Terlepas dari pro dan kontra pendapat di atas, satu hal yang patut menjadi renungan kita semua bahwa sikap "premanisme" memang telah terjadi di segala lapisan masyarakat Indonesia.
Kita mulai dari preman birokrasi. Korupsi di kalangan birokrasi melalui penggunaan anggaran, baik itu APBN maupun APBD, masih saja terjadi.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi memperkirakan bahwa dari 536 Kabupaten dan Kota yang ada saat ini, sudah ada 291 Kepala Daerah jadi tersangka korupsi. Fakta ini sangat memprihatinkan.
Sementara salah satu menteri dalam ceramahnya di Singapura menyatakan bahwa penghambur-hamburan masih sering dilakukan oleh kepala daerah.
Anggaran lebih banyak digunakan untuk kepentingan pribadi, seperti kebutuhan rumah tangga, pakaian, acara-acara seremonial, kendaraan dan perjalanan ke luar daerah.
Hal ini memang tercermin dari alokasi anggaran di mana lebih dari 60 persen untuk biaya personil sementara yang dialokasikan untuk pembangunan hanya sekitar 12 persen.
Preman birokrasi ternyata sangat erat kerjasamanya dengan preman politisi di perwakilan rakyat. Baik itu tingkat DPR maupun DPRD.
Kasus korupsi pembangunan gedung olahraga Hambalang yang dimotori Nazaruddin, mantan bendahara Partai Demokrat, telah membongkar besarnya jaringan preman korupsi di kalangan politisi.
Awalnya kasus itu menjerat Angelina Sondakh, yang kemudian merambat ke Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat dan Andi Mallarangeng, mantan Menpora.
Masih yang berkaitan dengan olahraga, Gubernur Riau Rusli Zainal sudah dijadikan tersangka atas pemberian dan penerima suap pembahasan Perda PON Riau 2012, disamping kasus Pelalawan.
Ada dugaan bahwa kasus suap menyuap ini juga melibatkan petinggi dari asal partainya.
Tentu saja preman suap menyuap dan korupsi itu juga melibatkan pengusaha. Baik yang aktif maupun tidak aktif di politik.
Hartati dituduh melakukan penyuapan terhadap Bupati Buol Amran senilai Rp3 miliar sebagai kompensasi agar Amran mengeluarkan izin guna pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan miliknya di Buol. Baik Hartati maupun Amran telah divonis pengadilan.
Kasus lain yang mengejutkan adalah masalah pajak yang dilakukan oleh Asian Agri. MA memutuskan perusahaan papan atas kelapa sawit itu untuk membayar denda ke negara Rp2,5 triliun.
Berkaitan dengan penggelapan pajak, kita tentu masih ingat nama Gayus Tambunan.
Mantan pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Indonesia dan lulusan STAN tahun 2000 ini dituduh oleh Komjen Susno Duadji mempunyai uang Rp25 miliar di rekeningnya plus uang asing di brankas bank atas nama istrinya dan itu semua dicurigai sebagai harta haram.
Lebih kaget lagi kita ketika KPK berhasil membongkar dugaan korupsi proyek simulator SIM di Polri yang telah mengakibatkan kerugian negara miliaran rupiah yang diduga dilakukan mantan Kepala Korlantas Polri Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo.
Nilai kekayaan jenderal berbintang dua ini diduga sampai Rp 100 miliar dan KPK telah melakukan pembekuan atas aset aset yang dimiliki oleh Djoko Susilo.
Tentu saja temuan ini mengingatkan kita akan isyu rekening gendut di lembaga Polri.
Salah satu majalah di Indonesia pernah mengungkapkan data data enam jendral polisi yang memiliki rekening gendut tersebut.
Sayangnya tidak ada upaya lanjut untuk melakukan pemeriksaan atas jumlah kekayaan yang bisa saja mirip-mirip dengan Djoko Susilo.
Institusi kehakiman juga tidak lepas dari preman korupsi. Baru baru ini Wakil Ketua PN Bandung, Setyabudi Tejocahyono, tertangkap tangan oleh KPK karena diduga menerima suap sebesar Rp150 juta dari total Rp1 miliar yang dijanjikan.
Diduga, dugaan suap itu terkait pengurusan kasus dugaan korupsi bantuan sosial (Bansos) Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung sebesar Rp66,6 miliar.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori Saleh mengatakan dalam dua tahun terakhir sebanyak delapan hakim telah dipecat karena suap dan lebih dari 20 hakim kena sanksi tidak menyidangkan perkara selama jangka waktu tertentu atau dikenal dengan sanksi non-palu.
Pada saat pelantikan jajaran Kabinet Indonesia Bersatu I tahun 2004, SBY menyatakan agar para menteri dan pembantu Presiden lainnya menjadi pejabat yang bersih, bebas dari korupsi dan segala bentuk penyimpangan.
"Saya pun akan melakukan hal yang sama dengan Saudara, untuk menegakkan pemerintahan yang baik untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap segala bentuk penyimpangan, marilah kita mulai dari diri kita sendiri, dari lingkungan kita, dari jabatan kita, dan utamanya sebagai seorang presiden, dari diri Pemerintah Republik Indonesia," itu yang dinyatakan oleh Presiden SBY.
Dari peristiwa-peristiwa di atas, kita bisa melihat dengan jelas bahwa dalam hal korupsi, Presiden SBY gagal menjadikan negara ini yang bebas korupsi.
Preman, mulai dari tingkat jalanan sampai yang bersafari dan memakai dasi, semakin menggurita bahkan melibatkan orang-orang dekat Presiden SBY sendiri.
Kembali pada topik penembakan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sepatutnya kita berharap lebih jauh lagi, bukan saja kepada prajurit Kopassus tapi mungkin juga aparat anti teror di POLRI.
Agar mereka bukan saja bersikap tegas terhadap preman tingkat jalanan, tetapi juga bersikap tegas terhadap preman-preman di birokrasi, berdasi, dan profesional.
Karena rasa keadilan di masyarakat sudah terusik oleh kelakuan preman-preman negara di segala tingkatan.
Kalau tindakan itu yang terjadi, meskipun melanggar HAM, tetapi preman preman yang mengambil duit negara akan langsung kapok.
Dan tindakan akan berhasil mentransformasikan negara Indonesia dari negara preman menjadi negara aman. Untuk ituk para prajurit tersebut patut kita berikan bintang mahaputera.
*) Sosiolog
Oleh Fritz E Simandjuntak *)
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013