Dengan keindahannya, bunga bisa menjadi berbagai macam simbol bagi manusia; sebagai keindahan sejati, ungkapan kasih sayang, juga lambang sumber kehidupan yang tak pernah mati. Tapi, bagi para pedagang bunga di Barito, Jakarta Selatan, bunga adalah sumber kehidupan yang selalu membuat mereka menapaki hari-hari dengan optimis. Hanafi (64), pedagang bunga di Barito yang sudah berdagang di tempat itu sejak 1969, mengatakan bunga adalah hidupnya. "Semenjak kecil saya sudah mengenal bunga, karena saya lahir dan besar di Rawabelong. Rawabelong kan dulu terkenal dengan para petani anggrek,"ujar lelaki yang memiliki kios Anggrek Florist itu. Perkenalannya lebih dalam dengan bunga terjadi ketika pada 1964 ia mulai berjualan bunga di dekat Masjid Istiqlal. Ia berjualan di sana selama empat tahun sebelum ia pindah ke sentra bunga Barito. Pada saat itu mertuanya juga seorang pedagang bunga, sehingga Hanafi belajar secara otodidak dari mertuanya tentang merangkai bunga. Bunga adalah tempat Hanafi menggantungkan hidupnya. Ia bisa membesarkan delapan anaknya dari hasil berjualan bunga selama lebih kurang 42 tahun tersebut. "Saya sampai kapalan dengan bunga, tidak tahu mesti kemana lagi, karena yang saya tahu hanya bunga dan bunga," ujar lelaki yang murah senyum itu. Anwar Abdullah (63), pedagang bunga dikawasan yang sama juga memiliki pengalaman dan anggapan yang sama dengan Hanafi soal bunga. di Barito yang juga sudah berdagang semenjak tahun 1969, memiliki kisah dan rasa yang kurang lebih sama terhadap bunga. "Di luar berdagang bunga saya tidak punya pekerjaan lain. Semua waktu dan perhatian saya curahkan untuk bunga,"ujar kakek tiga cucu yang berjualan bunga di sana sejak 1969. Anwar sebelumnya bekerja pada sebuah Perusahaan Negara. Ia bersentuhan dengan bunga ketika seorang kawan memperkenalkannya pada usaha tersebut. Perkenalannya dengan bunga membuatnya mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya, karena pada saat itu ia melihat kesempatan untuk menghidupi diri dan keluarganya dengan lebih baik. Dari berdagang bunga, Anwar akhirnya memiliki dua toko, yang berada di Barito diberi nama Libra dan yang berada di tempat tinggalnya Jagakarsa, Lenteng, Jakarta Selatan, kios Yasmine. Kios Yasmine ia kelola bersama istrinya, sementara kios Libra ia percayakan pada orang lain. Dari bunga itulah Anwar bisa menghidupi seorang istri dan kelima anaknya. Tidak Selalu Indah "Namanya juga usaha, pasti ada naik turunnya, begitu juga di bisnis bunga ini. Sekarang-sekarang ini omset seluruh pedagang bunga di sini turun dibandingkan dulu," ujar Teddy Pandji, pedagang bunga pemilik Kannys Florist yang juga ketua pedagang bunga Barito JS 27. Menurut Teddy, yang berdagang bunga karena meneruskan usaha keluarganya, tamparan paling dahsyat mereka terima ketika pemerintah memberikan instruksi agar tidak memberikan bunga, parcel, atau apapun kepada para pejabat. "Pemerintah harusnya lebih memikirkan dampaknya kepada para pedagang yang penghasilannya tidak seberapa dan hanya mengandalkan kepada pesanan-pesanan seperti itu. Paling cuma Rp100 ribu sampai Rp300 ribu, itu kan bukan suap atau korupsi namanya,"ujar lelaki lulusan Universitas Nasional itu. Hal senada juga disampaikan Anwar Abdullah, karena larangan itu pendapatan para pedagang bunga, yang sehari-harinya saja tidak pasti, semakin turun. "Seberapa jumlah pastinya tidak bisa dikatakan, karena memang pendapatan kita memang tidak pasti. Tetapi bisalah dikatakan hampir 50 persen pendapatan kita turun,"ujar Anwar. Hanafi kemudian bercerita tentang bagaimana penjualannya dulu bisa mencapai Rp1 juta per hari, kalau ia mendapatkan banyak order dari instansi ataupun perorangan. "Dulu sih lumayan sering seperti itu, tetapi sekarang agak susah, mungkin karena banyak larangan dari pemerintah, juga kondisi ekonomi kita yang belum membaik,"ujar Hanafi. Menanggapi pertanyaan soal omset mereka tidak pernah menentu, Anwar Abdullah menjawab karena masyarakat Jakarta belum "bunga minded". Mereka tidak benar-benar mencintai bunga, masyarakat kita hanya membeli bunga karena kebutuhan saja. Bagi Anwar, masalah penurunan omset dan rugi dalam berdagang merupakan hal biasa. Ia sempat mengalami kerugian besar di luar masalah larangan dari pemerintah itu, yaitu pada saat seluruh bunga carnesen miliknya dimakan tikus. "Seluruh putiknya dimakan, bayangkan, yang ditinggalkan cuma batang dan daunnya yang tinggal serobekan saja. Yah sudah, kita hitung rugi saja, mau bagaimana lagi, namanya juga bisnis," ujar Anwar sambil memperlihatkan gigi-gigi besarnya. Jakarta kota bunga Alwi Shahab (70), ahli Betawi dan sejarah Jakarta tempo dulu, bercerita bahwa Jakarta dahulu begitu indah dengan hiasan bunga di mana-mana. "Dulu sekitar tahun 20-an atau 30-an, masyarakat Jakarta begitu mencintai bunga. Di setiap rumah dan di sepanjang jalan selalu dihiasi dengan bunga yang begitu cantik dan rimbun," ujar mantan wartawan ANTARA yang pensiun tahun 1993 itu. Menurut Alwi, pada tahun-tahun itu, hampir setiap rumah di Jakarta memiliki pot-pot ditanami bunga berwarna-warni serta hiasan keramik yang tingginya hampir satu meter ditumbuhi dedaunan yang berjuntai. Kencintaan Jakarta terhadap bunga itu merupakan tradisi dari noni-noni Belanda yang juga amat mencintai bunga. Sehingga ketika banyak permintaan terhadap bunga, banyak masyarakat Jakarta yang bertanam dan berbisnis bunga. Masyarakat Jakarta, terutama Betawi, dulu sering berjual bunga keliling dengan pikulan atau gerobak. Mereka masuk keluar kampung di pelosok Jakarta menawarkan bunga hasil tanam mereka sendiri atau hasil perkebunan dari Bandung ataupun Sukabumi. "Dulu pasar Cikini itu merupakan pasar bunga yang begitu ramai. Di situ juga ada perkebunan bunga, seperti di Rawa Belong yang juga banyak perkebunan bunga Anggrek," ujar lelaki yang akrab dipanggil Abah Alwi itu. Sekarang ini hampir tidak ada perkebunan bunga di Jakarta, para pedagang bunga di Jakarta, terutama di Barito kebanyakan mengambil pasokan bunga dari Sukabumi, Bogor, Puncak, Bandung bahkan ada yang dari Batam. Masyarakat Jakarta mulai tidak terlalu memperhatikan bunga lagi, menurut Alwi terjadi karena perkembangan jaman yang semakin mengarah kepada kapitalisme serta bunga alami sudah banyak terganti dengan bunga plastik. Kondisi itu terus berlangsung sampai sekarang, hingga banyak sentra bunga di Jakarta yang dulu sempat begitu besar dan hidup, lama kelamaan menjadi redup. Sentra bunga Barito merupakan salah satu sentra bunga baru yang mampu bertahan dalam kondisi itu. Pada awal berdirinya sentra bunga ini hanya terdiri atas 14 pedagang yang sebelumnya berlokasi di tempat pedagang hewan Barito. Kemudian pada akhir tahun 1969, mereka dipindahkan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta yang pada saat itu dipimpin Gubernur Ali Sadikin. Ketika itu Barito belum sepenuh sekarang, pada saat itu hanya ada dua kios ikan hias, serta belum ada pedagan buah dan pedagang hewan di situ. Sebelumnya kios-kios ikan hias itu digunakan untuk berjualan tanaman. Saat ini, sentra bunga Barito memiliki 51 kios pedagang bunga di bawah binaan Suku Dinas Usaha Kecil Menengah Jakarta Selatan. Para pedagang bunga itu berada dalam satu wadah Kelompok Pedagang Bunga Barito JS 27.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006