Jakarta (ANTARA News) - Meski punya hak khusus untuk meminta tambahan waktu 45 menit dalam mengerjakan soal-soal Ujian Nasional, Sena Rusli dan Arina Fitri Mahsha tak memanfaatkannya.

Dua siswa tuna netra itu keluar hampir bersamaan dengan rekan-rekan sebaya yang mengikuti Ujian Nasional di SMAN 66 Jakarta kala bel tanda ujian berakhir berbunyi.

Hari ini mereka mengerjakan soal ujian Bahasa Indonesia di ruang terpisah, masing-masing ditemani seorang pengawas yang membacakan soal dan seorang pengawas mengisikan lembar jawaban.

Sena mengaku tidak mengalami kesulitan berarti dalam mengisi jawaban soal-soal ujian. Pendamping ujian benar-benar membantunya memahami soal ujian.

"Untung pengawasnya bisa menyesuaikan. Kalau saya minta ulang, mereka ulang. Kalau saya minta jelaskan lagi, mereka jelaskan lagi," kata remaja kelahiran 13 April 1995 itu.

Namun Sena mengaku bingung menjawab soal-soal Bahasa Indonesia yang menurut dia membingungkan.

"Susah banget, perlu analisis tinggi. Banyak bacaan panjang dan jawabannya mirip-mirip," ujar Sena, yang mempersiapkan diri dengan mengerjakan soal Ujian Nasional tahun-tahun sebelumnya.

Berbeda dengan Sena yang lebih santai, Arina sedikit tegang menghadapi ujian hari pertama.

Remaja berkerudung itu menilai pertanyaan yang mengandung tabel serta grafik cukup sulit dikerjakan.

Arina, yang bercita-cita menjadi penerjemah, mempersiapkan diri menghadapi ujian dengan mengikuti les privat setiap sore di rumah.

Dia ingin lulus Ujian Nasional supaya bisa meneruskan pendidikan ke universitas impiannya.

"Aku ingin masuk sastra Inggris UI karena aku suka Bahasa Inggris," kata anak perempuan yang kehilangan penglihatan sejak usia 5 tahun karena sering sakit setelah lahir prematur itu.

Sena pun punya cita-cita yang tidak kalah tinggi. Ia ingin belajar jurnalistik di Universitas Indonesia supaya menjadi wartawan. Dia ingin membawa aspirasi penyandang disabilitas ke media.


Belajar bersama

Di SMAN 66 Jakarta, ada delapan murid penyandang disabilitas yang tersebar di kelas X sampai kelas XII, enam di antaranya tuna netra termasuk Sena dan Arina yang duduk di kelas XII dan sisanya tuna rungu.

Menurut Kepala Sekolah SMAN 66 Jakarta, Suhari, sekolah tidak punya program belajar khusus bagi kedelapan siswa dengan disabilitas itu. Mereka belajar bersama dengan siswa-siswa yang lain.

"Belajar dan ujian sama seperti yang normal. Tidak ada keistimewaan," kata Suhari.

Sena dan Arina juga belajar bersama murid-murid yang lain, tidak mendapat perlakuan istimewa dari sekolah.

Untuk beberapa hal, seperti saat guru menulis di papan tulis, Sena mengandalkan bantuan teman sebangku untuk membacakan.

Bila ada pelajaran yang tidak mereka mengerti, apalagi yang mengandung unsur visual, Sena bertanya lebih lanjut kepada guru setelah kelas usai.

Sementara Arina kerap meminjam catatan teman untuk di fotokopi dan dibacakan padanya.

Perangkat lunak JOSS pada komputer jinjing yang dimiliki semua murid tuna netra pun membantu Arina dan Sena mengikuti pelajaran.

Dengan perangkat lunak tersebut, mereka bisa mengetik dengan benar meski tidak bisa melihat tulisan pada keyboard dan layar karena perangkat itu memberikan pesan suara.

"Aku bisa mengetik lancar," kata Arina, yang indekos dekat sekolah karena rumahnya agak jauh dari sekolah, di daerah Duren Sawit, Jakarta Timur.

Arina dan Sena mengaku tidak pernah merasakan diskriminasi dari sekolah maupun teman mereka.

"Alhamdulillah, selalu ada teman yang menemani saya," kata Arina.

"Teman-teman biasa saja, tapi kalau mereka main bola ya saya nggak bisa ikut," seloroh Sena.


Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013