Yogyakarta (ANTARA) - Indonesia digambarkan sebagai negeri yang kaya akan sumber daya alam. Bentangan hijau hutan Nusantara, hamparan perkebunan, hingga biru laut yang luas menjadi pundi-pundi kekayaan. Namun kekayaan sumber daya alam itu akan dinikmati segelintir orang saja bilamana tidak dilakukan upaya hilirisasi.

Konsep hilirisasi ini dinilai memungkinkan untuk menggali nilai tambah dari bahan mentah. Nilai tambah inilah yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat. Bahkan Presiden Joko Widodo menyatakan untuk mewujudkan ekonomi bernilai tambah tinggi, maka dilakukan hilirisasi sumber daya alam. Dari hilirisasi ini diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Presiden Joko Widodo,pada pidato Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI dalam rangka HUT Ke-78 Proklamasi Kemerdekaan RI, 16 Agustus 2023, menyatakan bahwa Indonesia harus menjadi negara yang mampu mengolah sumber daya alamnya serta mampu memberikan nilai tambah dan menyejahterakan rakyatnya. Nilai tambah dimaksud dapat diperoleh melalui hilirisasi.

Proses hilirisasi atau downstreaming merupakan tahapan dalam pengolahan produk bahan mentah atau menjadi barang yang lebih bernilai dan siap untuk dijual kepada konsumen akhir. Hilirisasi tidak berhenti pada tahapan produksi di pabrik, tetapi meluas hingga ke tahapan proses, pengemasan, distribusi, dan penjualan produk.

Dulu hilirisasi ini lebih sering diwacanakan sebagai industri pengolahan. Jadi, wacana industri pengolahan alias hilirisasi sudah lama menggaung. Saat itu konsep ini muncul mengingat fenomena pasar global yang menguntungkan bagi pelaku industri olahan.

Indonesia gencar menjual bahan mentah, sementara negara lain yang menikmati nilai tambahnya karena mempunyai pabrik pengolahan. Ironisnya, produk olahan itu diekspor kembali ke Indonesia. Artinya, Indonesia mengekspor bahan mentah, diolah oleh negara lain, kemudian dikembalikan ke Indonesia dalam bentuk olahan. Nilai tambahnya diraih negara pengolah tadi.

Belajar dari ironi itu, maka hilirisasi merupakan keniscayaan. Dari pandangan bisnis, produk hilirisasi memberikan keuntungan lebih besar. Selain itu, dapat menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah.

Memang, tidak mudah untuk mewujudkan hilirisasi, setidaknya perlu dipikirkan kebutuhan akan investasi yang besar dan riset yang matang agar produk dapat diolah menjadi lebih bernilai. Yang tidak kalah penting adalah kebijakan pemerintah dan infrastruktur yang mendukung.

Terkait kebijakan pemerintah, pidato Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2023 sudah menunjukkan keseriusan pemerintah dalam pengembangan hilirisasi. Setidaknya, kendala hilirisasi akan mudah dicarikan solusinya karena ada kepedulian dan dukungan pemerintah.

Bukan rahasia lagi hilirisasi sering terkendala sejumlah masalah. Dari pemaparan para pelaku, setidaknya muncul empat masalah utama, yang meliputi masalah finansial, pasokan energi, lahan, sampai masalah perizinan.

Oleh karena itulah keempat permasalahan tersebut seyogianya menjadi prioritas bagi pemerintah untuk segera diatasi dalam rangka menumbuhkan ekosistem hilirisasi di Indonesia.

Pemerintah telah menyiapkan beberapa langkah, antara lain pemberian insentif jika hilirisasi mengacu kepada transfer teknologi yang memanfaatkan sumber energi baru dan terbarukan, serta meminimalisir dampak lingkungan.

Presiden Jokowi mengatakan, hilirisasi memang pahit bagi pengekspor bahan mentah. Pahit pula bagi pendapatan negara dalam jangka pendek. Tapi jika ekosistem besarnya sudah terbentuk, jika pabrik pengolahannya sudah beroperasi, buah manis akan dipetik oleh bangsa kita.

Pada akhirnya, buah manis itu akan dirasakan dalam bentuk kesejahteraan bagi masyarakat kita.

Karena itu, mulai saat ini semua pihak harus menyesuaikan diri dengan iklim hilirisasi. Pelaku usaha perlu mengubah "kebiasaan". Mereka yang terbiasa mengekspor crude palm oil (CPO), misalnya, sudah saatnya mengekspor olahannya, sehingga Indonesia bukan lagi dikenal sebagai produsen CPO mentah, melainkan sudah merambah pada produk turunannya.

Secara potensi, produk turunan CPO banyak digunakan untuk industri pangan, berupa minyak goreng, margarin, shortening, dan vegetable ghee. Kemudian untuk industri oleokimia, antara lain berupa fatty acids, fatty alcohol dan glycerin, serta biodiesel.

Namun praktiknya pelaku usaha cenderung memilih menjual CPO. Sebagian besar produksi CPO tidak memiliki nilai tambah tinggi karena minim diolah. Padahal Indonesia boleh dibilang merupakan "raja" CPO.

Produksi CPO Indonesia diperkirakan 47,2 juta ton dan Malaysia sebesar 18,5 juta ton pada 2023. Total produksi kedua negara itu setara dengan 81,6 persen produksi CPO dunia pada 2023, yakni 80,5 juta ton (data per 13 Juli 2023).

US Department of Agriculture (USDA) mengungkap konsumsi minyak sawit Indonesia untuk periode 2023-2024 diperkirakan naik sebesar 5 persen menjadi 19,9 million metric tons (MMT) dari 18,9 MMT pada periode 2022-2023 karena meningkatnya penggunaan industri dan makanan. Rinciannya, konsumsi minyak sawit untuk keperluan industri diperkirakan akan mencapai 12,7 MMT untuk periode 2023-24.

Selain itu, industri biodiesel Indonesia lebih mengandalkan domestik daripada pasar ekspor. Pada 2022, industri biodiesel ini hanya mengirimkan 4 persen dari volume produksi ke pasar ekspor karena harga minyak sawit bergerak di bawah harga gas oil pada semester kedua.

Di sektor makanan, konsumsi minyak sawit diproyeksikan meningkat sebesar 100.000 MT menjadi 6,9 MMT untuk 2023/24, karena permintaan yang terus meningkat dari rumah tangga dan industri makanan. Melalui hilirisasi ini olahan CPO diharapkan lebih banyak diserap kebutuhan rumah tangga maupun industri makanan.

CPO hanya salah satu contoh. Masih banyak komoditas lain yang membutuhkan sentuhan hilirisasi. Semakin banyak komoditas disentuh hilirisasi, kian terbuka lapangan kerja dan masyarakat kian menikmati nilai tambahnya.


Copyright © ANTARA 2023