Semarang (ANTARA) - Kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional pada tahun 1998 tidak bisa dilepaskan dari ormas Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Sudah menjadi kehendak sejarah, kala pra-reformasi, pucuk kedua pemimpin ormas Islam terbesar di Indonesia itu dinakhodai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan M. Amien Rais.
Dua sosok tersebut merupakan salah dua tokoh yang amat populer kala itu. Di mana pun kedua tokoh itu berada di tempat terbuka, di situlah terjadi kerumunan orang.
Dalam perjalanan berikutnya, NU dan Muhammadiyah memberi "restu" kepada kedua sosok itu memprakarsai pendirian partai politik. PKB lahir pada 23 Juli 1998 dan persis sebulan kemudian PAN berdiri, pada 23 Agustus 1998.
Meski NU dan PKB merupakan entitas yang berbeda -- yang satu ormas dan satunya partai politik --, begitu banyak kader dan tokoh NU yang mengisi kepengurusan PKB dari ranting hingga DPP. Pun demikian dengan PAN.
Oleh karena itu, kadang terjadi tarik-menarik kepentingan karena memang banyak kader dari kedua ormas tersebut yang berhikmah di PKB dan PAN.
Dilihat dari lambang kedua partai saja, jejak sejarah keterkaitan kedua ormas dengan dua parpol tersebut juga cukup kental. Pada logo PKB, ada gambar Bumi dan bintang serta warna hijau yang menyerupai lambang NU.
Adapun lambang PAN, bisa ditafsirkan mengambil logo pokok Muhammadiyah: sinar Matahari. Hanya saja, jumlah sinar pada PAN ada 32, melambangkan warsa berakhirnya masa kekuasaan Orde Baru.
Oleh karena itu pula, kendati kedua partai tersebut berideologi inklusif, pengurus partai banyak berasal dari kedua ormas. Begitu pula dengan calon anggota legislatif yang terpilih dari DPRD kabupaten/kota, provinsi, hingga DPR RI.
Jadi, ada irisan besar antara jumlah politikus di PKB yang juga anggota dan kader NU. Begitu pula di PAN. Sejarah dan peran NU dan Muhammadiyah dalam proses kelahiran kedua partai tersebut memang tidak bisa dihapuskan.
Karena ada ikatan latar belakang historis, maka tidak berlebihan bila PKB dan PAN selama ini masih mengandalkan basis dukungan elektoral dari simpatisan, anggota, dan kader kedua ormas Islam tersebut.
Dalam perkembangan sejarah, relasi PKB dan NU serta PAN dengan Muhammadiyah diwarnai pasang surut. Kendati demikian, basis dukungan massa kedua ormas tersebut tetap besar dari pemilu ke pemilu.
Kekecewaan sejumlah kader Muhammadiyah di PAN, misalnya, pernah direspons dengan mendirikan Partai Matahari Bangsa pada 2006. Namun, partai ini tak berkutik dalam keikutsertaan pada Pemilu 2009.
Kini, dimotori salah seorang deklarator PAN, Amien Rais, juga mendirikan Partai Ummat. Namun, partai berlogo bintang keemasan ini akan diuji pada Pemilu 2024.
PKB juga bukannya tanpa saingan internal. Dengan menggunakan logo bernuansa NU, pernah lahir Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia pada 2003. Lalu, Partai Kebangkitan Nasional Ulama pada 2006.
Jumlah simpatisan dan kader kedua ormas Islam tersebut memang sangat besar, mencapai puluhan juta orang. Terlebih NU, yang sebagian besar simpatisan dan anggotanya bermukim di perdesaan. Jumlah simpatisan dan anggota Muhammadiyah, yang sebagian besar berada di perkotaan, mungkin tidak sampai sepertiga jamaah NU. Walakin, itu tetap jumlah yang signifikan untuk mendapatkan dukungan politik dari pemilu ke ke pemilu.
Mengingat besarnya jumlah massa kedua ormas tersebut, kiranya lumrah bila dalam setiap hajatan politik elektoral selalu terjadi upaya menggiring jamaah kedua ormas tersebut untuk memberikan dukungan elektoral kepada PKB dan PAN. Apalagi sejarah kelahiran dua parpol berideologi terbuka tersebut memang tidak bisa dilepaskan dari ormas dan tokoh-tokoh puncak NU dan Muhammadiyah, kala itu.
Namun, dalam perjalanan selanjutnya, kedua ormas tersebut menyadari pentingnya meletakkan garis demarkasi antara wilayah politik dengan kerja-kerja keormasan yang bergerak di wilayah sosial, keagamaan, budaya, hingga pendidikan yang tidak bisa dimasuki kepentingan politik praktis.
Kedua ormas tersebut tentu tidak kedap dan antipolitik, namun tidak ingin "bermain" seperti halnya parpol karena pertaruhannya sebagai ormas amat besar.
Kedua ormas tersebut tetap memberi tempat dan mendorong kepada kader-kadernya memasuki gelanggang politik praktis, namun melarang mereka menyeret ormas ke dalam pusaran politik praktis.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama K.H. Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa NU membuka ruang yang sama bagi partai politik. Jadi, bukan hanya dengan PKB, meski partai yang saat ini dinakhodai Muhaimin Iskandar tersebut memiliki ikatan sejarah kuat dengan NU.
Sejak memimpin ormas terbesar di Indonesia itu, Gus Yahya, bahkan lebih intens dan tegas lagi menyuarakan sikap agar NU beserta warganya tidak ditarik-tarik untuk kepentingan politik praktis.
Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam berbagai kesempatan pun menegaskan ormas ini melarang penyertaan organisasi beserta simbol-simbolnya dalam politik.
Akan tetapi, Muhammadiyah tidak pernah melarang kader-kadernya terjun ke politik praktis, dengan senantiasa menjaga integritas demi menjaga keadaban berpolitik.
Jadi, Muhammadiyah menyerahkan pada ranah pribadi anggota ormas ini untuk memilih parpol. Tak sedikit kader muda ormas ini yang aktif di PSI, misalnya.
Ketegasan sikap kedua ormas terbesar di Tanah Air dalam meletakkan relasi dengan parpol, termasuk dengan partai yang pernah "dibidani" kelahirannya tersebut, menjadikan ladang perebutan suara lebih terkonsentrasi pada persaingan antarpartai.
Bisa jadi politikus tersebut memanfaatkan jaringan kader di kedua ormas tersebut-- terutama para politikus yang sebelumnya berkhidmah di kedua ormas--, namun adanya garis demarkasi tersebut bakal menjadi pembatas politikus memasuki wilayah jam'iyah (ormas).
Bagi Indonesia, ketegasan sikap kedua ormas tersebut berarti meminimalisasi potensi konflik yang kerap mencuat dalam kompetisi politik, sebab persaingan tersebut sudah dipagari dalam area politik praktis, yang seharusnya memang tidak melibatkan ormas.
Harus diakui bahwa rivalitas kedua ormas tersebut dalam skala amat kecil, kadang masih mencuat, kendati hanya berupa riak-riak kecil di akar rumput. Namun, akan sangat berisiko bila kedua ormas tersebut juga melibatkan diri dalam pertarungan politik praktis yang memang menjadi ranah dan kompetensi partai-partai.
Oleh karena itu, sikap jaga jarak atau memberi ruang yang sama pada semua parpol yang diambil oleh kedua ormas tersebut bakal kian mengokohkan ikatan anak bangsa.
Apalagi NU dan Muhammadiyah sudah menabalkan Indonesia sebagai kepentingan utama dalam segala gerak dan dakwah kedua ormas tersebut.
Ini juga menjadi modal sosial terciptanya stabilitas yang solid bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan visinya menjadi negara maju pada tahun 2045.
Copyright © ANTARA 2023