Banda Aceh (ANTARA) - Konflik gajah liar sumatera dengan penduduk Kabupaten Aceh Jaya masih terus berlangsung hingga sekarang, dan dinilai perlu penanganan cepat untuk mengurangi intensitas konflik yang sudah terjadi bertahun-tahun itu.
“Konflik gajah liar hampir setiap bulan terjadi di Aceh Jaya, dan bahkan dalam satu bulan bisa beberapa kali gangguan gajah liar di banyak titik,” kata Koordinator Conservation Response Unit (CRU) Sampoiniet Samsul Rizal saat dihubungi dari Banda Aceh, Sabtu.
Baca juga: Gajah liar kembali rusak tanaman pinang dan padi warga di Aceh Jaya
Baru-baru ini, Rizal mengatakan, pihaknya baru melakukan patroli dan mitigasi konflik satwa liar gajah yang mengobrak-abrik perkebunan penduduk di Desa Meudang Ghon, Kecamatan Indra Jaya, Aceh Jaya.
Di kawasan itu, lanjut dia, ada empat ekor gajah liar sumatera di antaranya satu ekor gajah jantan dan tiga ekor gajah betina, dan merusak tanaman palawija milik masyarakat. Peristiwa ini bukan pertama kali, tetapi sudah berulang kali sejak bertahun-tahun.
“Sasarannya ya tanaman masyarakat, palawija, pepaya, pisang, kacang-kacangan kelapa, kalau kepala sawit sudah pasti ya,” ujarnya.
Baca juga: Pemerintah diminta serius tangani gajah masuk pemukiman di Aceh Jaya
Memang, dia menambahkan, ada tiga kecamatan di Aceh Jaya yang menjadi area jelajah empat ekor satwa bertubuh besar itu, di antaranya Kecamatan Indra Jaya, Kecamatan Jaya, dan Kecamatan Sampoiniet.
Gangguan yang terjadi akibat gajah liar itu akan intensif terjadi apabila kawanan gajah sudah berada di seputar hutan Area Penggunaan Lain (APL) yang berdampingan dengan area perkebunan warga.
“Dan yang paling rentan terjadi konflik itu di titik Kecamatan Indra Jaya. Jadi hampir semua desa ada persoalan dengan gajah liar ini,” ujarnya.
Baca juga: BKSDA turunkan tim atasi konflik gajah di Aceh Jaya
Kata dia, ketika petugas CRU melakukan penggiringan dari Indra Jaya ke hutan, justru gajah ini berpindah ke dua kecamatan lain tetangga yakni Jaya dan Sampoiniet, dan beberapa bulan kemudian akan kembali lagi ke lokasi awal sehingga konflik satwa tidak pernah berhenti.
“Saat ini, gajah itu masih dalam kawasan itu (Indra Jaya), jadi ketika digiring, maka pindah ke desa lain, desa tetangga, dan berlanjut ke desa-desa lain kemudian balik lagi (ke Indra Jaya),” ujarnya.
Baca juga: Gajah liar masuk pemukiman, warga Aceh Jaya takut pulang ke rumah
Menurut Rizal, konflik gajah liar dengan penduduk di daerah itu sudah terjadi bertahun-tahun. Sebab itu, masyarakat meminta agar empat ekor gajah itu ditangkap, lalu dipindahkan dari daerah itu agar mengurangi intensitas konflik satwa liar di Aceh Jaya.
“Gajah ini memang harus ditangkap, untuk direlokasi atau apapun hal lain, karena memang sudah sangat meresahkan masyarakat,” ujarnya.
Baca juga: BKSDA Aceh turunkan tim cegah konflik satwa dan manusia
Apalagi, kata dia, di kawasan ini tidak bisa dilakukan pembangunan barrier (pembatas) agar gajah liar tidak memasuki perkebunan penduduk.
Berbeda dengan daerah konflik gajah lair lain di Aceh Jaya seperti Kecamatan Darul Hikmah, kata dia, daerah tersebut memungkinkan dibangun barrier pagar kejut (power fencing) sehingga bisa sedikit tertanggulangi konflik satwa.
“Di kawasan (Indra Jaya) itu secara kontur tanahnya tidak memungkinkan membuat barrier,” ujarnya.
Baca juga: Aceh gunakan gajah untuk atasi gangguan gajah liar
Baca juga: Konflik Satwa dan Manusia di Aceh Jaya
Pewarta: Khalis Surry
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2023