Gorontalo (ANTARA) - Riski Lamato, siswa kelas X Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 9 Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo, tidak pernah menyangka akan memanjat tiang bendera setinggi 14 meter.
Ia tidak takut saat memilih memanjat tiang bendera untuk menyambung tali putus pada penaikan bendera saat upacara di halaman kantor Camat Sumalata Timur, saat memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-78 Republik Indonesia (RI) tingkat kecamatan.
"Saya tidak gugup. Keinginan itu datang saat melihat bendera merah putih tidak bisa dinaikkan karena tali bendera putus," kata Riski kepada ANTARA.
Didampingi ibunya Yusra Laiya, di Desa Hulawa, salah satu desa penghasil emas di wilayah pesisir utara Provinsi Gorontalo, Riski bercerita pada Kamis, 17 Agustus tersebut, ia merasakan energi besar merasuk ke jiwanya.
Sejak pagi ia merasa gembira menjadi peserta upacara bendera memperingati Hari Kemerdekaan. Saat itu para siswa berjalan kaki dari desa menuju kantor Camat Sumalata Timur, dengan jarak sekitar 2 kilo meter.
Saat upacara, dia memilih berdiri di deret depan barisan agar bisa menyaksikan gegap gempita para anggota pengibar bendera (paskibra) menaikkan bendera.
Saat bendera menuju tiang untuk bisa dikibarkan, Riski mengaku mulai merinding, jiwanya bergetar. Ketika bendera hendak dibentangkan, tiba tiba tali tiang bendera putus.
Ia kaget dan tertegun. Kemudian, sayup-sayup terdengar seorang guru bertanya apakah ada yang mau memanjat memperbaiki tali.
Jiwanya terpanggil. Ia berlari kencang menju tiang bendera, tidak peduli lagi pada kanan kiri. Larinya sangat kencang, termasuk saat memanjat tiang, dengan satu tujuan, agar tali bisa tersambung.
Memastikan tali telah tersambung, Riski sekelebat turun. Dengan nafas terengah-engah, kemudian masuk lagi ke barisan upacara untuk memberi penghormatan pada Sang Saka Merah Putih.
Riski Lamato, putra pertama dari tiga bersaudara. Lahir di Sumalata pada 12 Januari 2008. Ibunya bernama Yusra Laiya adalah ibu rumah tangga yang sesekali berjualan nasi kuning. Ayahnya, Irfan Lamato, bekerja sebagai buruh harian atau sopir truk pengangkut jagung.
Keluarga itu dikenal memiliki pergaulan yang baik di desa. Bahkan di Hari Kemerdekaan, Irfan Lamato antusias bersama warga lainnya mengikuti lomba gerak jalan antarkecamatan.
Yusra Laiya mengungkapkan rasa haru dan bahagia mendengar cerita anaknya yang memanjat tiang bendera saat upacara.
Di rumah, Riski bercerita kalau dia baru saja memanjat tiang bendera karena talinya putus. Tidak merasa capek, setelah mengikuti upacara Riski langsung mempersiapkan diri untuk mengikuti lomba gerak jalan.
Ibu dan anak itu kemudian terlibat perbincangan hangat. Si ibu bertanya apakah Riski tidak takut saat naik tiang bendera. Riski menjawab, sedikitpun tidak ada rasa takut. Ia hanya merasakan adanya energi luar biasa untuk naik sebagai persembahan kecintaan pada bendera sebagai lambang negara dan bangsa.
Riski adalah pelajar pelajar yang dikenal rajin dan aktif mengikuti berbagai kegiatan di sekolah, termasuk kegiatan dalam rangka memeriahkan HUT Kemerdekaan RI.
Bahkan, antusias mengikuti kegiatan peringatan kemerdekaan itu ia tunjukkan sejak masih di sekolah dasar (SD).
Tidak terasa, air mata Yusara meleleh saat menceritakan sikap heroik anaknya memanjat tiang bendera, tanpa berpikir risiko jika terjadi sesuatu dengan tiang itu saat menerima beban berat badan Riski.
Bukan hanya di keluarga, aksi Riski itu menarik banyak perhatian, salah satunya anggota Komisi III DPRD Gorontalo Utara Wisye Pangemanan, yang mengaku terkesima dengan aksi salah satu siswa itu.
Kebetulan Wisye hadir saat upacara 17 Agustus di kecamatan itu, sebagai perwakilan anggota DPRD Kabupaten dari Daerah Pemilihan Sumalata Timur, Sumalata, Biau, dan Tolinggula.
Saat Riski memanjat tiang, dia spontan berteriak mengingatkan karena aksi itu penuh risiko. Beruntung cuaca saat itu sedang cerah dan tidak ada embusan angin kencang.
Atas aksi itu, Bupati Gorontalo Utara Thariq Modanggu bersama Dandim 1314 memerikan penghargaan berupa tabungan pendidikan dan sejumlah peralatan sekolah kepada Riski.
Bagi Pemerintah Daerah Gorontalo Utara, apa yang dilakukan Riski adalah aksi heroik yang sangat membanggakan. Aksi itu menjadi jalan bagi pelakunya untuk mendapatkan perhatian pemerintah, lewat bantuan biaya pendidikan.
Aksi yang dilakukan Riski menggambarkan kegigihan generasi terdahulu saat melawan penjajah yang berperang tidak hanya mengandalkan logika, namun semangat juang yang tinggi. Para pejuang terdahulu kalah dari sisi peralatan dan senjata untuk berperang. Penjajah menggunakan pistol dan senjata lebih canggih, pejuang kita hanya menggunakan bambu runcing dan senjata tradisional seadanya.
Diharapkan., semua apresiasi yang ditujukan kepada Riski, baik berupa biaya pendidikan dari pemerintah daerah dan TNI, maupun dukungan moril dari amsyarakat lainnya, juga menjadi modal bagi Riski untuk juga gigih dan pantang menyerah dalam meraih cita-cita di masa depan.
Hadiah sepeda
Perhatian kepada aksi Riski tidak hanya dari tingkat kabupaten, melainkan juga dari Pemerintah Provinsi Gorontalo. Ia bersama kedua orang tuanya mendapat undangan khusus dari gubernur untuk makan malam di rumah jabatan.
Riski dan keluarga langsung oleh pejabat Dinas Pendidikan Provinsi Gorontalo untuk menghadiri undangan gubernur. Pada Jumat (18/8), usai makan malam, ia diberi hadiah memberi hadiah sepeda. Sepeda itu diharapkan menjadi sarana pendukung bagi Riski agar ke sekolah tidak perlu berjalan kaki.
Riski nampak bersemangat diberi kesempatan itu. Ia mengenakan pakaian Palang Merah Remaja (PMR) putih-putih, seragam yang sama ia kenakan saat memanjat tiang bendera. Riski memilih sepeda yang dihadiahi Gubernur.
Kita semua berharap aksi semangat dan heroik yang ditunjukkan oleh Riski itu menjadi teladan bagi kaum muda lainnya, termasuk semangat dalam belajar untuk meraih cita-cita terbaik di masa depan.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023