Jakarta (ANTARA) - Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, yang berada di Kelurahan Ciketing Udik, Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, adalah sebuah lokasi yang menjadi tempat pembuangan sampah akhir para warga ibu kota, ternyata juga menjadi tempat tinggal bagi sebagian keluarga, termasuk anak-anak.

Mereka kebanyakan adalah anak dari para pemulung yang mencari nafkah dari tumpukan sampah yang saat ini sudah menggunung setinggi 40 meter itu.

Meskipun hidup di lingkungan yang dekat dengan sampah, anak-anak itu ternyata memiliki semangat yang tinggi untuk belajar, namun karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan, tak jarang dari mereka akhirnya putus sekolah.

Siang itu jam dinding telah menunjukkan pukul 12.30 WIB, namun anak-anak di wilayah Kelurahan Ciketing Udik tetap bersemangat untuk belajar di Sanggar Anak Kita (Saka).

Di bangunan seluas 28 meter persegi, 16 anak kelas Ceria A dengan rentang usia 6 - 8 tahun itu tampak tengah menghafalkan nama-nama Presiden RI, dari mulai Soekarno hingga Joko Widodo.

Mereka juga dibagikan kertas yang berisi gambar bendera-bendera, untuk selanjutnya anak-anak itu menghitung jumlah bendera Merah Putih yang ada di kertas tersebut.

Ada tiga sukarelawan yang membimbing anak-anak itu dalam kegiatan belajar mengajar selama 1,5 jam di sanggar.

Memasuki jam istirahat, anak-anak itu bergegas mengambil makanan ringan yang dibagikan di warung sebelah sanggar. Ada susu dan biskuit yang dapat mengisi perut anak-anak yang sudah merasa lapar.

Setelah 10 menit istirahat, anak-anak ini kembali berkumpul dan duduk lesehan di sanggar untuk meneruskan kegiatan belajar.

Sesi kelas Ceria A pun ditutup dengan menyanyikan bersama-sama lagu "Hari Merdeka".

Sanggar itu adalah rumah belajar dan bermain bagi anak-anak yang tinggal di kampung pemulung, tak jauh dari TPST Bantar Gebang. Pembelajaran diadakan setiap Sabtu dan Minggu.

Sanggar itu didirikan pada 2013, bermodalkan bangunan bekas Sanggar Anak Akar, organisasi yang menghadirkan fasilitas pendidikan dan program pengembangan diri bagi anak-anak pinggiran.

Kamina atau yang karib disapa Ami adalah warga Bantar Gebang yang mendirikan sanggar tersebut.

Ami sempat putus sekolah di kelas 4 sekolah dasar (SD) karena keterbatasan biaya. Beruntung, Sanggar Anak Akar "menyelamatkannya", sehingga Ami bisa melanjutkan sekolah hingga sekolah menengah kejuruan (SMK).

Untuk meneruskan ke jenjang perguruan tinggi, Ami berupaya mencari beasiswa karena sanggar yang menaunginya sudah tidak menanggungnya lagi.

Kisah hidupnyalah yang membuat Ami ingin meneruskan semangat perjuangan sanggar yang mengalami dengan mendirikan sanggar baru.

Awalnya, kegiatan di sanggar itu hanya dilakukan di waktu senggang Ami karena dirinya masih disibukkan dengan kegiatan perkuliahan di Jakarta.

Usai lulus kuliah, Ami mulai mengaktifkan kembali kegiatan belajar mengajar di sanggar dengan lebih intensif, terlebih memasuki masa pandemi pada 2020, pihaknya melihat banyak permasalahan anak bermunculan di Bantar Gebang, seperti anak putus sekolah dan perkawinan usia anak.

Ami dan suaminya, Yoki, dan dua rekan lainnya, Kristiyani dan Anjas Sari mengurus sanggar, dimulai dari merenovasi bangunan rumah dua lantai itu.

Untuk merenovasi rumah serta biaya operasional, pihaknya dibantu oleh donatur yang memiliki kepedulian tinggi.

Sementara warga sekitar tidak dibebankan biaya maupun urun dana untuk operasional sanggar, mengingat kondisi mereka untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka sehari-hari.

Untuk mengajak anak-anak di Bantar Gebang bergabung di sanggar, Ami terlebih dulu melakukan pendekatan dan sosialisasi ke para orang tua. Dengan latar belakang yang sama sebagai warga asli Bantar Gebang, memudahkan Ami untuk meyakinkan orang tua anak agar mendukung anaknya belajar di sanggar.

Kamina atau yang karib disapa Ami (kiri), pendiri Sanggar Anak Kita (Saka) sedang mengajari anak-anak kelas Ceria A, di Kelurahan Ciketing Udik, Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. (ANTARA/ Anita Permata Dewi)

Anak-anak tersebut dibagi ke dalam dua kelas besar, yakni kelas dasar yang terdiri dari Kelompok Belajar (KB), mulai usia 4 hingga 5 tahun. Kemudian Ceria A (usia 6 - 8 tahun), Ceria B (usia 8 - 10 tahun), dan Cerdas (usia 10 - 12 tahun). Sementara kelas atas terdiri dari Kelas Cermat (usia 12 - 16 tahun).

Berbeda dengan di sekolah formal, proses pembelajaran di sanggar itu dilakukan secara informal dengan materi pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan para peserta.

Untuk kelas atas, materi pembelajaran yang diberikan adalah keterampilan-keterampilan yang berguna bagi kehidupan anak yang sifatnya untuk mengasah kreativitas dan membentuk karakter anak.


Tujuan sanggar

Tinggal dan dibesarkan di kampung pemulung, membuat Ami tersadar bahwa anak-anak yang hidup di sekitarnya juga memiliki hak yang sama dengan anak-anak lainnya. Mereka memiliki hak tumbuh kembang, hak pendidikan, hak kesehatan, hak untuk mendapat makanan, dan hak bermain.

Bagi Ami, sanggar yang didirikan itu merupakan gerakan penyadaran terhadap anak-anak dan orang tua untuk mengingatkan bahwa ada hak-hak anak yang harus dipenuhi sebagai modal utama mereka untuk tumbuh dan berkembang secara holistik.

Suami Ami, Yoki mengatakan dalam menghadirkan pembelajaran di Saka, saat ini pihaknya mencari lahan baru yang lebih luas untuk memenuhi kebutuhan kegiatan belajar mengajar.

Dengan menggalang dana dari publik, lahan baru akhirnya dapat terbeli yang lokasinya tak jauh dari lokasi sanggar saat ini.

Ami dan suami membuka kesempatan kepada masyarakat yang peduli terhadap upaya untuk mencerdaskan anak-anak bangsa itu untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan di lahan yang baru.

Saka adalah wujud dari sifat dasar bangsa Indonesia yang saling peduli satu sama lain. Saat ini, sanggar itu memiliki 15 pengajar yang merupakan sukarelawan.

Sebagian diantara mereka masih kuliah, namun ada juga yang sudah bekerja dan memiliki minat terhadap dunia anak.

Ami, suaminya, para pengurus sanggar, dan para sukarelawan merupakan contoh orang-orang yang memiliki kepedulian tinggi terhadap pemenuhan hak anak di kampung pemulung.

Anak, dimanapun dia berada tetap memiliki hak yang harus dipenuhi oleh orang tua maupun lingkungan di sekitarnya.

Di era kemerdekaan, sosok pahlawan tidak lagi harus mengangkat senjata melawan penjajah, namun yang diperlukan adalah sosok-sosok yang sukarela berjuang untuk membantu saudara-saudara kita yang memerlukan bantuan dan dukungan.

Ami dan para sukarelawan di Saka merupakan pahlawan masa kini yang rela mendedikasikan hidupnya untuk membantu anak-anak pemulung untuk tegar menghadapi masa depan menjadi lebih baik dari pada saat ini.

Ami dengan segala perjuangannya dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat bahwa untuk menjadi pahlawan masa kini bisa dimulai dari membantu masyarakat yang memerlukan bantuan di lingkungan sekitar kita.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023