"Anak berperilaku menyimpang dikatakan sebagai korban karena perilaku tersebut merupakan efek sistemik dari lingkungan keluarga atau lingkungan sosial anak," kata Kepala Suku Dinas (Sudin) PPAPP Jakarta Barat Aswarni saat dihubungi wartawan di Jakarta pada Rabu.
Menurut Aswarni, hukuman keras kepada anak yang melakukan perbuatan menyimpang merupakan bentuk diskriminasi kepada anak.
"Misalnya anak yang tersandung masalah di sekolah atau anak terlibat tawuran dan penyimpangan lain. Jadi pihak sekolah tidak boleh memberhentikan anak itu," tutur Aswarni.
Hal tersebut, menurut Aswarni, karena anak yang berperilaku menyimpang tetap punya hak untuk bersekolah atau mengenyam pendidikan.
"Intinya anak yang bermasalah adalah korban. Mungkin kalau ditelusuri orang tua mereka di rumah tidak harmonis atau lingkungan membentuk anak menjadi seperti itu (berperilaku menyimpang)," kata Aswarni.
Baca juga: Bapas Jakbar catat 424 kasus dengan pelaku anak sejak 2022
Jadi, kata Aswarni, kalau ada yang berperilaku menyimpang dan masih berusia anak (0 sampai sebelum 18 tahun), maka pemerintah, sekolah dan pihak lain yang bertanggung jawab harus berpikir bahwa anak tersebut adalah korban.
Berkaitan dengan penyelesaian anak berperilaku menyimpang, Aswarni menawarkan pendekatan yang lebih jauh, terutama oleh pihak sekolah.
"Pendekatan yang dimaksud, yaitu ditelusuri latar belakang keluarga dan latar belakang sosial anak," kata Aswarni.
Hal tersebut, kata Aswarni, dilakukan guna mendeteksi penyebab perilaku menyimpang anak.
"Kenapa mereka terlibat tawuran atau terlibat perilaku menyimpang lain. Mereka juga tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif di sekolah, tidak boleh distigmatisasi atau diberi label buruk," kata Aswarni.
Baca juga: Polres Metro Jakbar gagalkan tawuran di Palmerah
Menurut Aswarni, mengeluarkan anak dari sekolah tidak menyelesaikan masalah dan menghentikan perilaku menyimpang anak.
"Jadi tidak bisa selesai di sekolah. Harus ada komunikasi lebih dalam dengan orang tua," katanya.
Karena itu, semua pihak yang bertanggung jawab juga mesti bahu-membahu mengatasi anak berperilaku menyimpang itu sehingga bisa dicarikan solusi bersama.
Sebelumnya, Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas 1 Jakarta Barat (Jakbar) mencatat 424 kasus dengan anak sebagai pelaku dari tahun Januari 2022-Juni 2023.
Baca juga: Pemkot Jakbar gelar program "Keluarga Remaja" untuk cegah tawuran
Pada tahun 2022 total ada 329 kasus (anak sebagai pelaku). Untuk diversi (penyelesaian kasus di luar persidangan) ada 104 kasus dan lanjut persidangan 103 kasus.
"Sisanya (122 kasus) permintaan integrasi dari lembaga pemasyarakatan (Lapas)," ungkap Kepala Bapas Kelas I Jakarta Barat Sri Susilarti, Senin (3/7).
Menurut dia, pada semester awal tahun 2023 ada 95 kasus. Dari 95 kasus tersebut ada 34 kasus yang diversi. Kemudian, sampai Juli ada 18 kasus tetapi baru ada 11 yang sampai Pengadilan.
"Jadi jumlah keseluruhannya dari 2022 sampai 2023 itu ada 424 kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku. Dari 424 kasus tersebut, sudah ada 134 kasus yang berhasil diversi atau menempuh jalur mediasi," ungkap Sri.
Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2023