Jakarta (ANTARA) - Pakar gestur dan mikroekspresi dari Asosiasi Psikologi Forensik Monica Kumalasari mengatakan Presiden Joko Widodo tampak santai dan tanpa beban saat membahas dirinya yang kerap disebut sebagai "Pak Lurah" pada Sidang Tahunan MPR 2023.
"Ini ditunjukkan pula dengan ekspresi wajah tersenyum. Tidak tampak ada kemarahan, kekesalan, ketakutan dan beban emosi lainnya," kata dia kepada ANTARA melalui pesan elektroniknya, Rabu.
Menurut Monica, Presiden tidak menganggap hal ini sebagai hal yang penting untuk disikapi. Bahasa verbal dan non verbal Presiden, sambung dia, menunjukkan kongruensi.
Dalam pidatonya, Presiden menyebutkan kalimat, "Kita saat ini sudah memasuki tahun politik. Suasananya sudah hangat-hangat kuku dan sedang tren ini di kalangan politisi dan parpol. Setiap ditanya soal siapa capres, cawapresnya, jawabannya 'Belum ada arahan (dari) Pak Lurah',"
Baca juga: Presiden Jokowi tertarik dengan baju adat Tanimbar sejak tahun lalu
Presiden lalu mengatakan dirinya sempat berpikir siapa yang dimaksud dengan sebutan “Pak Lurah” dan belakangan beliau mengetahui sosok yang dimaksud "Pak Lurah" ternyata dirinya.
Presiden lalu menegaskan dirinya bukan ketua umum partai politik dan ketua koalisi partai politik sehingga terkait penentuan calon presiden dan calon wakil bukan merupakan kewenangan darinya. Dia berkata, "Bukan wewenang saya, bukan wewenang 'Pak Lurah', bukan wewenang 'Pak Lurah', sekali lagi".
Monica berpendapat ada ketegasan dari Presiden saat mengulangi kata-katanya, intonasi verbal serta bahasa tubuh saat mengatakan “Bukan kewenangan pak Lurah, sekali lagi”.
Saat itu, Presiden tampak melakukan gerakan tangan terangkat di sisi bahu dengan telapak tangan menghadap ke depan seperti gestur yang ditunjukkan bila seseorang mengatakan “tidak”.
"Dari kongruensi pernyataan verbal dan non verbal ini bisa disimpulkan bahwa pernyataan beliau tidak terlibat dalam penentuan capres maupun cawapres adalah cukup kredibel," jelas Monica.
Monica kemudian membahas tentang Presiden yang mengetahui dirinya diejek dengan kata seperti "planga-plongo" dan "tidak tahu apa", melalui media sosial. Beliau mengaku menerima hal itu.
Menurut Presiden, hadirnya media sosial membuat apapun bisa disampaikan kepada presiden termasuk kemarahan, ejekan, bahkan makian dan fitnah.
Monica berpendapat tidak terdengar perubahan intonasi yang menjadi lebih tinggi ataupun lebih rendah dan lebih dalam. Hal ini juga ditunjukkan dengan tidak adanya mikroekspresi kemarahan atau ketakutan.
"Jokowi justru menganggukkan kepala sebagai pernyataan kesungguhan. Ada keselarasan verbal dan nonverbal yang berarti Jokowi menganggap hal tersebut sebagai masalah kecil yang tidak menimbulkan emosi pribadi," jelas Monica.
Terakhir, Monica membahas pernyataan Presiden tentang budaya santun dan budi pekerti luhur yang tampak mulai hilang di antara masyarakat. Presiden juga menyebut kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Menurut Presiden, polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia dan ini membuatnya sedih.
"Kata sedih diucapkan berulang dengan jeda, juga ditunjang dengan menepuk sebelah tangan di dada. Terlihat mikroekspresi kesedihan dan kekecewaan," demikian kata Monica yang juga mengatakan prioritas perhatian Presiden Jokowi yakni pada keprihatinan polusi budaya sebagian rakyat dan bukan perihal ejekan secara pribadi.
Baca juga: Pengamat nilai Jokowi berhasil letakkan fondasi transisi kepemimpinan
Baca juga: Pelaku industri dukung pengurangan emisi karbon via kendaraan listrik
Baca juga: KSP: Sah saja bakal capres-cawapres harapkan dukungan Jokowi
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023