Jakarta (ANTARA) - Pengamat intelijen, pertahanan dan keamanan Ngasiman Djoyonegoro menilai pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di hadapan MPR RI sebagai penegasan fondasi transisi kepemimpinan menjelang tahun politik 2024.
"Pidato kenegaraan presiden kali ini diwarnai dengan kesadaran bahwa pemerintahannya akan segera berakhir dan pemimpin di masa mendatang harus berpijak pada hal ke-kini-an dan ke-disini-an. Penegasan bahwa dia tidak cawe-cawe dalam kontestasi Pemilu 2024 dan menolak disebut "Pak Lurah" merupakan bentuk sikap proporsional dari seorang kepala negara," kata Simon, sapaan akrab Ngasiman Djoyonegoro, dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Rabu.
Rektor Institut Sains dan Teknologi Al-Kamal itu juga mengatakan dalam konteks pertahanan dan keamanan nasional, apa yang disampaikan oleh Presiden adalah bentuk optimisme dalam menatap masa depan.
Presiden menyinggung soal merebaknya ekspresi ujaran kebencian yang menyerang pribadi Presiden dalam balutan kritik. Penting untuk dipahami bahwa ekspresi semacam ini berpotensi memecah belah masyarakat dan perlu diantisipasi sejak awal.
Semua pihak harus belajar dari Pilkada DKI 2017 dan Pemilu 2019 di mana ujaran kebencian antara pendukung pasangan calon telah berhasil membelah masyarakat. Untungnya, hal ini tidak berlanjut pada konflik yang lebih serius.
"Aparatur di bidang pertahanan dan keamanan harus menangkap hal ini sebagai arena kerja yang perlu diperhatikan karena telah disebut secara spesifik oleh Presiden dalam pidatonya," kata analis intelijen, pertahanan dan keamanan ini.
Dia menyebut banyak aspek yang disinggung oleh Presiden, seperti keberhasilan ekonomi, hilirisasi, penegakan hukum dan diplomasi internasional, sehingga semua hal tersebut adalah keberhasilan yang menjadi modal transisi kepemimpinan.
"Keberhasilan dalam naiknya level diplomasi internasional adalah modal yang sangat besar untuk menjaga posisi Indonesia dalam geopolitik yang semakin memanas," ujarnya
Dalam peta geopolitik saat ini, ada kecenderungan negara-negara adikuasa hendak menggeser konflik antara Blok Barat dan Blok Timur ke wilayah Asia.
Sementara, Indonesia yang mencakup sepertiga wilayah Asia Tenggara, sudah pasti akan terkena dampak. Oleh karena itu, menurut dia, harus mampu mengubah ancaman yang ada ini menjadi kesempatan atau peluang untuk memicu dan memacu diri dalam mencapai Indonesia Maju.
"Jangan sampai berbagai modal sosial, ekonomi, dan budaya yang sudah kita capai hanya berlalu begitu saja. Kita kuatkan SDM unggul di tengah bonus demografi agar mampu mengolah sumber daya alamnya sendiri, kita gunakan international trust untuk menciptakan kesempatan dan pengaruh baru, dan kita kuatkan budaya kita sebagai laboratorium internasional dalam mengelola perbedaan dan toleransi," kata Simon.
Baca juga: Presiden: Kita harus lari maraton untuk mencapai Indonesia Emas
Baca juga: Jokowi sebut pemimpin harus miliki "public trust"
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2023