Bandung (ANTARA) - PT PLN Indonesia Power mengungkapkan bahwa pihaknya melakukan pengaturan terhadap operasional Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Saguling sehubungan dengan surutnya air di Waduk Saguling beberapa waktu terakhir akibat musim kemarau.
Ahli tata kelola pembangkit PLTA Saguling Novy Heryanto mengatakan pengaturan operasional ini, karena surutnya waduk yang dikabarkan air mukanya turun mencapai 15 meter, mempengaruhi debit air masuk (inflow) yang ditampung di Waduk Saguling yang berpengaruh dengan produksi PLTA berkapasitas 700 MW ini.
"Artinya dengan kondisi inflow yang kecil, maka akan berpengaruh dengan produksi listrik dari PLTA Saguling. Dan PLTA Saguling hanya akan dioperasikan optimal saat beban puncak, yakni jam 17.00 - 22.00," kata Novy dalam pesan singkatnya di Bandung, Rabu.
Sementara di luar waktu tersebut, kata Novy, PLTA Saguling yang memiliki empat turbin, akan dioperasikan sesuai permintaan dari Pusat Pengatur Beban.
Di musim kemarau dengan surutnya bendungan karena terbatasnya debit air yang masuk akibat musim kemarau, kata Novy, pihak pengelola melakukan pemeliharaan mesin-mesin pembangkit PLTA Saguling untuk mengembalikan performa peralatan.
"Sehingga nantinya saat musim hujan pembangkit dapat beroperasi dengan penuh atau full load capacity," ucapnya.
Meski diinformasikan bendungan yang terletak pada ketinggian 643 m di atas permukaan laut ini juga memiliki fungsi untuk pengairan pertanian, Novy menyebutkan bahwa fungsi utama Waduk Saguling adalah untuk memenuhi kebutuhan energi primer yang digunakan untuk pembangkit tenaga listrik.
"Jadi tidak difungsikan untuk pengairan pertanian, sehingga PLN IP Saguling tidak memiliki tanggung jawab terhadap pengairan pertanian dari waduk Saguling, dan kami tidak memiliki wewenang itu sehingga tidak mengetahui dampak kemarau untuk pengairan dan pertanian," ucapnya.
Atas menurunnya debit air di Waduk Saguling, sejumlah petani terlihat memanfaatkan kondisi lahan di bantaran waduk yang mengalami kekeringan menjadi media bercocok tanam palawija seperti mentimun, umbi-umbian, hingga sayuran, seperti di wilayah Desa Cangkorah.
Kasi Pemerintahan Desa Cangkorah, Wawan Rohman mengatakan dengan kekeringan di sana yang terasa sejak dua bulan terakhir, para petani akhirnya memilih alih profesi menjadi buruh serabutan, berdagang, hingga mengkonversi lahan tani bantaran waduk demi memenuhi ekonomi mereka.
Wawan mengungkapkan sedikitnya ada 500 petani yang memanfaatkan lahan bantaran waduk untuk bertahan menghidupi kebutuhan sehari-hari.
"Petani di bantaran Waduk Saguling karena sawahnya kering lumayan banyak ada 500 orang. Tersebar di RW 02, 06, 05, 07, dan 08, 09, 10, 11, dan RW 16. Rata-rata tanam sayuran, umbi-umbian, dan tanaman lain yang cepat panen," kata Wawan.
Sebelumnya, diberitakan sebanyak 178 hektare lahan persawahan di 13 desa dalam empat kecamatan yakni Cililin, Sindangkerta, Cihampelas, dan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat mengalami kekeringan akibat kemarau imbas dari badai El Nino.
Bahkan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, menilai luasan ini bisa bertambah karena diprediksi El Nino akan berlangsung sampai akhir tahun.
DKPP menyiapkan dua skema, yang pertama, bagi para petani pemerintah menyiapkan insentif.
Sementara itu untuk lahan kering, pemerintah mengupayakan dukungan infrastruktur sumur bor dan mesin sedot air.
Serta meminta petani di wilayah Bandung Barat dengan potensi kekeringan ini, bisa adaptif memanfaatkan lahan, seperti memulai budidaya tanaman yang membutuhkan sedikit air atau toleran kekeringan.
Baca juga: Anggota DPR: PLN perlu evaluasi kelayakan KJA di Waduk Cirata-Saguling
Baca juga: PLTA, Indonesia Power ajak masyarakat jaga kualitas air Sungai Citarum
Baca juga: PLTA Saguling dukung transisi energi hijau Indonesia
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2023