Saat sektor properti bergairah, jangan melupakan sisi sosialnya, ... menyediakan rumah murah.
Yogyakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo memuji perkembangan sektor properti sekaligus minta peningkatan kontribusi sektor ini dalam membangun rumah murah bagi rakyat kecil. Imbauan ini didasari fakta bahwa rakyat kecil masih susah membeli rumah. Di sinilah butuh uluran Pemerintah yang berkolaborasi dengan pengusaha properti.
Imbauan disampaikan Kepala Negara saat memberikan sambutan dalam Munas Real Estate Indonesia (REI) XVII Tahun 2023 pekan lalu. Presiden mengemukakan fakta saat ini menunjukkan tingkat backlog kepemilikan rumah di Indonesia masih 12,1 juta.
Hal ini menjadi peluang bagi pengusaha untuk membangun perumahan lebih banyak. Namun di sisi lain, saatnya berkontribusi untuk ikut menyediakan rumah murah.
Backlog merupakan indikator yang digunakan oleh Pemerintah untuk menghitung kebutuhan rumah di Indonesia. Kalangan properti menggunakan istilah backlog untuk menunjukkan tingkat kesenjangan antara total hunian terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh rakyat. Jika angka backlog mencapai 12,1 juta, berarti perlu ada pembangunan rumah sebanyak itu.
Versi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebutkan apabila ada keluarga yang tinggal di hunian sewa, mereka tidak termasuk backlog. Jadi backlog dihitung sebagai rumah sendiri, dan kondisi rumah tidak layak huni.
Menurut Kementerian PUPR, backlog adalah kondisi kesenjangan yang didasari pada angka rumah yang tidak layak huni. Jika dibandingkan dengan angka Badan Pusat Statistik (BPS), backlog adalah kondisi yang terjadi mengacu pada rumah milik. Apabila ada masyarakat yang menempati rumah layak huni namun menyewa, mereka tetap dianggap backlog.
Versi Kementerian PUPR maupun BPS sama-sama memasukkan beberapa faktor penyebab backlog tersebut, di antaranya tingkat populasi atau pertumbuhan penduduk yang tinggi; bagi masyarakat berpenghasilan rendah masih terbatas ketersediaan huniannya; kemampuan masyarakat membeli rumah masih rendah; dan fakta masih banyak jumlah rumah tidak layak huni.
Sudah barang tentu backlog rumah bakal menjadi masalah serius dan berkepanjangan terkait kesejahteraan masyarakat jika terus dibiarkan dan tidak segera diatasi. Di sinilah perlu kerja sama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, ditambah kolaborasi dengan pengusaha properti.
Bagaimanakah peluang berkolaborasi? Masih terbuka luas, jika melihat data dari Kementerian PUPR. Data itu mengungkapkan Pemerintah telah menargetkan peningkatan akses rumah layak huni pada 2024, dari 56 persen menjadi 70 persen. Pertumbuhan ini selaras dengan bertambahnya keluarga baru mencapai 700.000 – 800.000 per tahun.
Kementerian PUPR mengambil langkah konkret untuk mengatasi backlog tersebut, di antaranya Program Satu Juta Rumah. Melalui program ini hingga Juli 2022 telah dibangun hunian sebanyak 544.845 unit. Cakupannya pembangunan rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan rumah non-MBR di berbagai daerah. Tercatat sudah mencapai 480.438 unit yang terdiri atas 420.645 unit rumah MBR dan 59.793 unit rumah non-MBR.
Imbauan kolaborasi muncul dari Presiden Jokowi mengingat sektor properti sedang bergairah. Menurut Kepala Negara, pasar properti di Indonesia menjadi salah satu yang paling tangguh dan memiliki daya saing tinggi di kancah global.
Kontribusi pasar real estat dan properti terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia sepanjang 2018 hingga 2022 mencapai Rp2.300 triliun -- Rp2.800 triliun. Properti memberikan kontribusi 16 persen dari PDB. Karena itu sektor properti dinilai mampu mendorong ekonomi nasional karena memiliki multiplier effect yang menjalar hingga 185 subsektor industri lainnya.
Sebagaimana data Kementerian PUPR, Presiden Jokowi juga menyatakan potensi sektor properti masih prospektif dalam beberapa waktu ke depan. Hal tersebut terindikasi dari pertumbuhan keluarga baru setiap tahun yang mencapai 700.000 hingga 800.000 keluarga. Saat sektor properti bergairah, Presiden Jokowi mengingatkan agar tidak melupakan sisi sosialnya, antara lain, membantu Pemerintah menyediakan rumah murah.
Apa yang dikemukakan Presiden bukan hal baru, tetapi pelaksanaannya tidaklah mudah. Hal ini didasari bahwa sifat properti memang bisnis. Azas-azas bisnis menjadi pegangan utama bagi pengusaha properti. Laba menjadi prioritas, dan kalau pun ada aktivitas sosial setidaknya tidak menggerogoti laba tersebut.
Dua sisi berlawanan itu perlu ada solusinya agar imbauan Kepala Negara bisa direalisasikan, sementara pengusaha properti masih bisa menjalankan usahanya dengan kaidah ekonomi yang menguntungkan.
Salah satu solusi yang diusulkan kalangan pengusaha properti lewat asosiasi adalah pemerintah Kembali menggulirkan insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) bagi sektor properti. Kehadiran insentif dapat meningkatkan kontribusi sektor properti terhadap perekonomian nasional. Intinya, pemerintah masih perlu memberlakukan insentif PPN DTP seperti tahun-tahun sebelumnya, agar kontribusi sektor properti terhadap perekonomian Indonesia semakin optimal pada 2023 dan tahun depan.
Sektor properti sempat mendapat insentif berupa PPN DTP sejak Maret 2021. Melihat faedahnya cukup dirasakan oleh sektor properti, pemerintah lalu memperpanjang insentif tersebut hingga September 2022. Tetapi sejak September 2022 belum ada kabar selanjutnya tentang berlakunya insentif tersebut.
Mirip insentif, selayaknya sektor properti ada subsidi bilamana ikut membantu pengembangan rumah murah. Langkah ini telah berlaku di beberapa sektor. Dalam usaha penerbangan, misalkan, maskapai memperoleh subsidi tiket jika ikut dalam penerbangan perintis.Semacam inilah yang diharapkan bisa membantu pengusaha properti.
Kombinasi insentif dan subsidi diharapkan akan mewujudkan imbauan Kepala Negara. Sektor properti makin bergairah, dan rakyat bisa memperoleh rumah murah. Setidaknya backlog bisa menurun.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023