"Kalau sengketa (Qanun) tersebut berada pada level undang-undang, Pemerintah Aceh bisa mengajukan `judicial review` ke Mahkamah Konstitusi," katanya di Jakarta, Senin.
Penggunaan lambang dan simbol dalam bendera daerah merupakan interpretasi dari UU tersebut, sehingga perdebatan tersebut seharusnya bisa selesai di struktur hukum.
Dia menilai permasalahan penggunaan lambang bulan sabit dan bintang pada bendera Aceh tersebut muncul karena perbedaan persepsi antara Pemerintah dan Pemerintah Aceh yang masih terkait dengan sejarah perdamaian pada 2005.
"Ada perbedaan persepsi karena ada konstruksi berpikir pada masa lalu, ketika terjadi diplomasi ekstra parlemen masuk ke parlemen. Maka sebaiknya diselesaikan secara hukum melalui judicial review," tambahnya.
Dinamika persoalan antara Pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh, menurut dia, merupakan masa transisi pembentukan model pemerintahan otonomi di Serabi Mekah itu.
"Ini tantangan bagi Kemendagri dan kaum elit Aceh untuk menata pemerintahan daerah itu," tambahnya.
Oleh karena itu, upaya kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan tidak memerlukan peran pihak ketiga, seperti pada saat perdamaian antara Pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melalui Perjanjian Helsinki.
"Masalah ini tidak perlu dibawa ke internasional dan tidak perlu negosiasi. Yang dibutuhkan hanya tahapan pendekatan dan diplomasi," katanya.
Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Gubernur Aceh Zaini Abdullah, yang juga mantan petinggi GAM, menegaskan tetap akan memperjuangkan penggunaan lambang bulan sabit dan bintang pada bendera daerah Aceh.
Perdebatan terkait bendera Aceh tersebut muncul setelah DPRA mengesahkan penggunaan lambang bulan sabit dan bintang sebagai bendera daerah pada 25 Maret yang tertuang dalam Qanun (Perda) Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.
Lambang tersebut ditengarai menyerupai bendera GAM sehingga dikhawatirkan melibatkan unsur-unsur separatisme atau memisahkan diri dari NKRI.
Pemerintah, melalui Mendagri Gamawan Fauzi, beberapa waktu lalu telah melakukan pertemuan dengan Ketua DPRA, Gubernur dan Wali Nanggroe di Aceh.
Namun pertemuan tertutup tersebut belum memperoleh kesepakatan, sehingga Pemerintah memberikan waktu 15 hari terhitung sejak 1 April bagi Pemerintah Aceh untuk mempertimbangkan kembali penggunaan lambang tersebut. (F013)
Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013